Thursday, June 15, 2017

Iman dan Pergaulan....

"Injak kepalaku ini, hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!" Abu Dzar Al-Ghifari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal Ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.

"Kumohon Bilal Saudaraku," rintihnya, "injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliyah dari jiwaku." Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendirinya sendiri.

Sayangnya Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal hingga lisannya melontarkan kata-kata kasar, "Hai anak budak hitam!"

Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegurnya. "Engkau!" sabda beliau dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, "sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!"

Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon, tapi Bilal tegak mematung. Dia marah, sekaligus haru. "Aku memaafkan Abu Dzar Ya Rasulullah," Kata Bilal. "Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."

Hati Abu Dzar perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita???

Kemampuan berhubungan baik dengan sesama manusia rupanya bukan akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Agama ini menuntut kita beriman, tapi juga berakhlak mulia. Dan puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih memerlukan, menjadikan kita mulia. Dia yang berjuang agar menjadi peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi pribadi yang baik akhlaknya." Begitulah, Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan baik adalah hal yang sama-sama harus diikhtiarkan sengan segenap kemampuan.


Sumber: Tulisan Salim A. Fillah dalam Rubrik Tazkiyatun Nafs Majalah Ummi No.04/XXIX Tahun 2017

No comments:

Post a Comment