Friday, June 23, 2017

Cinta yang Agung...

Cinta yang agung adalah ketika kamu menitikkan air`mata. Dan masih peduli terhadapnya. Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih tersenyum sembari berkata, "Aku turut bahagia untukmu".

Apabila cinta tidak berhasil, bebaskan dirimu, biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi...

Ingatlah...bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya...
Tapi ketika cinta itu mati, kamu tidak perlu mati bersamanya.

Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang.
Melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh...


~ Kahlil Gibran

Hakikat Jiwa...

Hakikat yang benar dari jiwa seorang wanita adalah campuran cinta dan duka, kasih sayang dan pengorbanan ~ Hala Dahir

Waktu...

Betapa anehnya waktu, dan betapa ganjilnya kita!

Waktu telah benar-benar berubah, dan lihatlah, ia mengubah kita juga.

Ia berjalan satu langkah ke muka, menyingkapkan wajahnya, memperingatkan kita dan kemudian membesarkan hati kita.

Kemarin kita mengeluhkan waktu dan gemetaran pada terornya.

Namun hari ini kita telah belajar mencintainya dan memuja-mujanya, karena kita sekarang memahami maksudnya, watak alaminya, rahasianya, juga misterinya.

~ Kahlil Gibran

Cinta...

Cinta tak mengenali kedalamannya sendiri, sampai tiba saatnya perpisahan...

Cinta adalah sepatah kata dari cahaya, dituliskan oleh tangan cahaya, pada lembar cahaya...

Cinta, sebagaimana kematian, mengubah segalanya...

Ketika cinta menjadi meluas, maka cinta tak terungkapkan kata-kata...


~ Kahlil Gibran

Maka Maafkanlah...

Laki-laki yang tidak memaafkan para perempuan atas kesalahan kecil mereka, tak akan pernah menikmati kebaikan luar biasa mereka ~ Sand and Foam ~ Kahlil Gibran

Kenyataan yang Tak Dinyatakan...

Kenyataan orang lain terletak bukan pada yang dia ungkapkan padamu, melainkan pada apa yang tak ia nyatakan padamu. Oleh karenanya, apabila kau hendak memahaminya, dengarkan bukan pada yang dia katakan, namun lebih banyak pada yang tak ia ucapkan ~ Sand and Foam ~ Kahlil Gibran

Kita Berjalan Bersama...

sahabatku, kau bukanlah sahabatku, tetapi bagaimana aku bisa membuatmu mengerti? Jalanku bukanlah jalanmu, tetapi kita berjalan bersama-sama, bergandengan tangan ~ The Madman ~ Kahlil Gibran

Jiwa adalah Sahabat...

Jiwaku adalah sahabatku yang menenangkan diriku setiap kali hari demi hari terasa berat kujalani. Yang menghiburku kapan saja kemalangan hidup terasa berlipat kali.

Siapa pun yang tak bisa bersahabat dengan jiwanya sendiri bagaikan musuh bagi orang lain. Dan dia yang seolah-olah tak berada di dalam dirinya, maka satu sahabat akan mati merana. Karena kehidupan bersemi dari dalam diri manusia, bukan dari luar.

Aku datang untuk mengucapkan sepatah kata dan aku akan menyampaikannya. Begitu maut menjemputku, segera kuserahkan suaraku, sehingga keesokan harinya akan terucap. Karena esok hari tak meninggalkan satu pun rahasia tersembunyi dalam Kitab Tiada Batas.

Aku datang untuk hidup di dalam kemuliaan cinta dan cahaya keindahan.

Lihatlah aku saat itu dalam kehidupan.
Tak ada manusia yang bisa memisahkan aku dari hidupku.
Apabila mereka cungkil kedua mataku, akan kudengarkan kidung cinta dan melodi keindahan dan kebahagiaan.

Apabila mereka tutup pendengaranku, akan kutemukan kesenangan dalam belaian lembut angin sepoi-sepoi paduan wangi kecantikan dan harum para pecinta.

Dan apabila aku pun tak bisa merasakan udara itu, maka kulanjutkan hidup bersama jiwaku.
Karena jiwa adalah anak perempuan cinta dan keindahan.

Aku datang untuk semua dan dalam semua.
Yang sendirian kulakukan hari ini, akan dinyatakan di hadapan banyak orang pada masa depan.

Dan yang sekarang kuucapkan dengan satu hati, esok akan dikatakan oleh banyak hati.


Taken From: A Tear and a Smile ~ Kahlil Gibran

Perempuan vs Lelaki...

Apabila engkau berharap memahami seorang perempuan, perhatikan mulutnya saat dia tersenyum. Namun untuk mempelajari lelaki, amati bagian putih matanya ketika dia marah. ~ Spiritual Sayings by Kahlil Gibran

Saturday, June 17, 2017

Puasa...

Allah telah menetapkan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan yang disitimewakan oleh Allah dengan banyak kebaikan sebagai penghormatan atas turunnya Al-Quran pada bulan tersebut. Bahkan Allah telah menjadikan malam turunnya Al-Quran sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasa bukan hanya sekadar mencegah diri dari pemuasan syahwat perut dan kemaluan beberapa saat dalam sehari, tetapi puasa adalah kehidupan yang total bersama Allah dengan hati dan semua anggota badan. Menyadari pengawasan Allah dan perjuangan melawan nafsu serta komitmen untuk berpegang teguh dengan adab dan akhlak Islam, dan penjagaan diri secara total dari semua ucapan dan tindakan yang dilarang oleh Islam. Begitulah kita melihat bahwa bulan puasa sebagai karantina bagi seorang muslim yang memasukinya selama sebulan penuh untuk diterapi dan disembuhkan dari berbagai penyakit dan kelemahan sehingga bisa keluar dari karantina itu pada hari Raya Idul Fitri dalam keadaan sehat dan bebas dari segala penyakit sehingga bisa bergembira dengan puasa dan kesembuhannya.

Puasa menundukkan semua anggota badan untuk meraih ridha Allah, sehingga mata, telinga, lisan, tangan, kaki, mulut, dan kemaluan ikut berpuasa dengan menjauhkan diri dari semua yang diharamkan oleh Allah. Puasa akan memberi sifat hilm (mudah memaafkan) terhadap sikap orang-orang yang jahil, mampu menahan amarah dan menolak perbuatan jahil orang lain dengan ucapan, "Aku sedang berpuasa". Alangkah butuhnya seseorang pejuang kepada sikap berlapang dada, kelemah lembutan dan ketiadaan amarah untuk diri sendiri.

Puasa menumbuhkan sifat belas kasih dalam hati orang yang melakukannya. Orang yang berpuasa akan merasakan kasih sayang kepada orang faqir dan membutuhkan, sehingga di tengah kaum muslimin akan muncul sikap saling mengasihi dan memberikan pertolongan.

Puasa juga membiasakan seorang agar selalu teliti dalam semua waktunya, di mana ketika berpuasa ia harus memperhatikan waktu imsak (menahan diri dari makan) dan waktu berbuka agar puasanya tidak batal. Sebagaimana puasa juga memiliki manfaat medis yang signifikan.

Sumber: Buku Fiqh Dakwah

Friday, June 16, 2017

Ambisi VS Motivasi

Di salah satu update-an status fb teman, ybs menulis kurang lebih seperti ini: "Terkadang kemurahan hati merupakan bentuk ambisi terselubung". Saya jadi teringat beberapa bulan lalu, eh, mungkin hampir setahun yang lalu, saya pernah ngobrol dengan seorang teman tentang efek bersedekah. Saya mengutip kata-kata ust.Yusuf Mansur bahwa sedekah dapat melipat gandakan harta, bahwa sedekah itu ajaib. Saya kembali ceritakan bahwa saya mulai menerapkan prinsip sedekah ini sejak masa-masa kuliah S1, sedekah pada siapa pun, orang susah atau orang berduit, saya gak pilih-pilih kalo insting memberi itu lagi kuat, saya sedekahkan sebagian rejeki saya tanpa banyak pertimbangan. Dan alhamdulillah hingga saat ini, saya belum pernah merasakan kekurangan rezeki secara signifikan. Mengalami masa-masa sulit pasti pernah, tapi paling hanya sehari-dua hari, selanjutnya rezeki kembali mengalir lancar. Meskipun pas-pasan, tapi entah karena efek sedekah atau apa, saya selalu merasa pas butuh pas ada.

Nah, kembali ke status fb teman tadi, dia menyebut 'kemurahan hati', identik dengan sedekah. Entah ada kaitannya dengan ceramah UYM atau tidak, Mungkin maksudnya si teman ini 'sedikit menyindir' orang yang murah hati/dermawan/suka bersedekah, bahwa orang-orang yang murah hati cenderung memiliki ambisi terselubung yakni ingin dilipat gandakan hartanya. Hm, saya sih gak nyalahin statusnya itu, cuma pengen ngelurusin aja, harusnya kata-katanya 'kemurahan hati memiliki motivasi tersendiri' itu baru benar. 'Ambisi terselubung' koq rada berlebihan ya menurut saya.

Dalam bersedekah, sebenarnya kita sedang bertransaksi dengan Allah, terkoneksi dengan Allah. Mungkin ada orang yang sedang membutuhkan, lalu dia meminta kepada Allah, kebetulan kita yang dipilih Allah untuk titipan rejekinya. Jadi kalo kita tahan rejeki itu, bayangkan betapa kecewanya Allah dengan sikap kita. Di masa depan Allah akan mencari orang lain untuk dititipi rejeki dan bukan kita. Beda kalo kita murah hati, Allah akan semakin percaya untuk menitipkan banyak rejeki lewat tangan kita. Allah yakin, ketika kita yang diberi kelancaran rejeki, akan membantu distribusi rejeki pada orang-orang di sekitar kita. Jadi semakin berlipat-lipatlah rejeki kita.

Jadi sah sah saja kita bersedekah dengan motivasi agar Allah melipat gandakan rejeki. Itu bukan ambisi kalo menurut saya. Sangat boleh kita mengharapkan rejeki kepada Allah. Daripada kita berambisi melipat gandakan rejeki lewat meja judi online misalnya, atau mengharap pelipat gandaan rejeki lewat riba, mana yang lebih baik? Sebagaimana janji Allah, bahwa Allah mengharamkan riba dan menyuburkan shodaqoh. riba semakin ditanam semakin merugikan praktisinya, rejeki itu akan keluar misalkan melalui sakit yang penyembuhannya butuh biaya mahal, ketidak tenangan hati karena makan uang hasil riba, dan lain sebagainya. Sedangkan shodaqoh, Allah janjikan akan tumbuh subur, semakin di tanam, akan semakin rimbun. Dan sedekah juga dapat menghapus dosa dan memanjangkan umur, itu diketahui dengan membaca riwayat para sahabat rasulullah di masa lalu yang gemar bersedekah, sedekahnya gak tanggung-tanggung pula, kadang sedekah kebun kurma, kadang sedekah onta, dan lain sebagainya. Subhanallah.


Wallahu a'lam bish showwab....

Hidup Ini Unik...

Hidup ini begitu unik. Apa yang awalnya aku anggap kesedihan, ternyata ujungnya adalah kebaikan. Ketika telah tiba pada suatu kondisi, seringkali aku baru menyadari makna-makna terselubung dari kondisi-kondisi sebelumnya karena aku tidak banyak mengerti tentang hidup ini. Aku tidak mau memberikan cap tertentu kepada hidup ini karena aku tidak banyak mengerti. Sama seperti ketika aku tidak mengerti seseorang, aku tidak boleh men-cap orang itu baik atau buruk, karena itu bukan hakku. Bahkan ketika aku sudah tahu persis orang itu seperti apa, hidup ini seperti apa, aku pun tidak boleh memberikan cap karena aku hanyalah insan yang di dunia ini hanya sebagai pengunjung.

Terkadang kebahagiaan malah muncul ketika aku rela menjalani apa yang ada. Memang benar bila terlalu ingin dibahagiakan oleh orang lain, ini justru membuat tidak bahagia pada akhirnya. Terkadang Allah swt ingin menguji kesabaran kita, sanggupkah kita terus menjalani hidup ketika kita tidak mengerti mengapa itu terjadi dan kita tidak menyalahkan siapa-siapa. Sanggupkah kita seperti itu? Keindahan inilah, kemuliaan inilah, yang Allah swt inginkan dari kita untuk kita persembahkan kepada-Nya. Orang ikhlas itu sangat disegani, orang ikhlas itu mulia, orang ikhlas itu harum, dan orang ikhlas itu indah...

Perspektif Kehampaan...

Selama ini kita menganggap kehampaan hati yang kita alami pada saat tertentu sebagai hal yang tidak wajar atau tidak normal. Batin kita berteriak, "Mengapa ini harus terjadi?" ini justru tambah menyakiti, karena kita sudah punya standar bahwa apa pun yang kosong harus diisi. Apa pun yang hampa harusnya terisi segera agar bahagia itu datang. Bagimana kalau kita balik perspektifnya? Andaikata yang kosong itu tetap tak terisi, yang hampa itu tidak diisi, tetap hampa dan kosong seperti itu, namun mengajari kita arti ketegaran hidup? Kalau kehampaan itu mengajari kita makna ketegaran hidup, sebenarnya ini adalah kebermaknaan. Ini hidup yang bermakna bila sanggup memaknai sedemikian rupa.

Saya berharap anda yang sedang membaca ini, bila anda sedang merasa kehilangan, hampa dan kosong serta ketiadaan harapan, tetaplah percaya bahwa bahkan dalam kekosongan sekalipun, Allah swt mendatangkan makna yang berharga bagi hidup, yaitu ketegaran. Tegar itu sebenarnya lebih mulia, lebih mahal dari sekadar bahagia. Orang yang tegar itu lebih mahal, lebih mulia daripada orang yang bahagia.

Orang yang bahagia belum tentu tegar, siapa tahu kebahagiaannya bersyarat. Berbeda dengan orang yang tegar, kondisi yang tidak bahagia pun dia sanggup tegar, bisa berdiri tegap, berdiri teguh dan kokoh.

Ada kondisi ketika memang jelas-jelas hidup ini tidak indah, baik secara indrawi maupun secara persepsi. Namun, kalau dalam ketidak indahan itu kita sanggup menemukan kesempatan emas, Allah swt ternyata mendidik kita untuk sederhana dalam pengharapan, bisa kokoh dalam berdiri. Ketika itu sudah terjadi, nikmatnya luar biasa. Kenikmatan itu luar biasa karena kita sanggup merasakan tuntunan Allah pada kondisi yang buruk. Orang yang tidak mengalami, tidak akan merasakan seperti ini.

Tidak selalu jiwa itu bekerja seperti matematika, 2+3 harus 5, 1x0 harus 0. Jiwa itu sangat kualitatif, tidak dapat diperlakukan dan dianggap kuantitatif. Parahnya, banyak orang yang menempatkan kebahagiaannya sebagai sesuatu yang kuantitatif, "Kalau aku punya uang 10 juta aku bahagia", "Kalau aku dapat proyek, aku bahagia". Itu kan kuantitatif, artinya, kita menentukan kebahagiaan berupa angka, bahagia juga sih akhirnya, tapi kita jadi terbiasa ke arah situ.

Mengapa dihubungkan dengan matematika? Sebenarnya saya ingin mengaitkan bahwa otak kita ini terbiasa memenuhi sebuah aturan, aturan yang umum dan mendunia. Dengan begitu barulah kita merasa nyaman dan bahagia. Kalau kita melihat jiwa kita kosong dan hampa, tanpa disadari kita menetapkan target-target (umum dan standar ketetapan manusia) yang diinginkan. Kita ingin yang hampa menjadi hilang dan digantikan dengan kebahagiaan. Dengan keinginan seperti ini, diri kita malah bertambah galau. Karena itu, sebagai solusi, lihatlah kehampaan dari perspektif berbeda, terimalah rasa hampa sebagai hal yang wajar dan lumrah, juga sebagai masa-masa emas untuk belajar ketegaran dari Allah swt. Yakinlah bahwa rasanya akan sangat luar biasa dan galau jadi hilang selamanya.... ^_^


Sumber inspiratif: Sebuah Buku Keren

Thursday, June 15, 2017

Iman dan Pergaulan....

"Injak kepalaku ini, hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!" Abu Dzar Al-Ghifari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal Ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.

"Kumohon Bilal Saudaraku," rintihnya, "injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliyah dari jiwaku." Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendirinya sendiri.

Sayangnya Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal hingga lisannya melontarkan kata-kata kasar, "Hai anak budak hitam!"

Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegurnya. "Engkau!" sabda beliau dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, "sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!"

Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon, tapi Bilal tegak mematung. Dia marah, sekaligus haru. "Aku memaafkan Abu Dzar Ya Rasulullah," Kata Bilal. "Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."

Hati Abu Dzar perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita???

Kemampuan berhubungan baik dengan sesama manusia rupanya bukan akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Agama ini menuntut kita beriman, tapi juga berakhlak mulia. Dan puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih memerlukan, menjadikan kita mulia. Dia yang berjuang agar menjadi peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi pribadi yang baik akhlaknya." Begitulah, Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan baik adalah hal yang sama-sama harus diikhtiarkan sengan segenap kemampuan.


Sumber: Tulisan Salim A. Fillah dalam Rubrik Tazkiyatun Nafs Majalah Ummi No.04/XXIX Tahun 2017