Wednesday, June 2, 2010

'Urwah bin Az-Zubair, Sahabat Rasulullah S'AW yang Dijamin Surga.


(Meninggal Husnul khatimah saat Puasa)

Selain orang yang tabah, 'Urwah juga dapat menjadi teladan sebagai ayah yang baik. Ia sangat menyayangi anaknya dan anak orang lain. Lebih indah dari itu, ia pun meninggal dengan kondisi yang sangat baik, yakni saat ia sedang berpuasa.

'Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan, dan penyeru kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, serta anak-anak kaum muslimin lainnya. Dia tidak pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan nasehat kepada mereka. Di antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu.

"Wahai anakku, tuntutlah ilmu, dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya. Jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudah-mudahan saja berkat ilmu, ALLAH menjadikan kamu orang-orang besar," itulah salah satu nasehatnya.


Nasehat Sedekah

Selain itu, suatu hari, 'Urwah juga pernah mengatakan , "Aduh betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada orang tua yang tidak berilmu?"

Tak hanya mendorong anaknya untuk menjadi orang yang berguna dan pintar, dia juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan untuk ALLAH 'Azza wa Jalla.

"Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena ALLAH Ta'ala adalah Zat paling mulia, dan paling Dermawan serta yang paling berhak untuk dipilihkan yang terbaik untuk-Nya." katanya.

'Urwah juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari mereka itu, "Wahai anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain), demikian pula dengan keburukan".



Sederhana

Dia juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik, dan bermuka ramah. 'Urwah berkata, "Wahai anakku, hendaklah kamu berkata-kata baik dan berwajah ramah, niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta mereka kepada orang yang selalu memberi mereka hadiah".

'Urwah juga tidak menyukai orang yang hidup terlalu boros. Ketika dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah S'AW yang penuh dengan kebersahajaan.

Begitulah sifat teladan yang bisa kita ambil dari sahabat Rasul yang bernama 'Urwah. Selama hidupnya, ia selalu memberikan manfaat pada keluarga dan kerabatnya. 'Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan, dan ketakwaan.

Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, ketika itu keluarganya memaksa 'Urwah untuk berbuka saja, namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap suatu saat dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan dari tangan bidadari.


Taken From: Tabloid Nurani...

Menyia-nyiakan Waktu...

Perkara yang akan paling banyak menghalangi seorang hamba meraih derajat yang tinggi di surga adalah tindakan menyia-nyiakan waktu, atau menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebab, membuang waktu itu membuat kita tidak sempat mengerjakan amal-amal sholeh yang dapat meninggikan derajat di surga. Renungkanlah!

Banyak pekerjaan yang tergolong sebagai menyia-nyiakan waktu. Dan umumnya, termasuk perbuatan maksiat kepada ALLAH. Misalnya, bersenda gurau sambil mengolok-olok orang lain, duduk menonton film-film minim manfaat di depan televisi, berlama-lama menyaksikan saluran televisi dari satu acara ke acara yang lain, dan melihat gambar-gambar bernuansa negatif di majalah. Ingat: setiap perbuatan dan pandangan mata, kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Biasanya, orang-orang yang senang menyia-nyiakan waktunya itu, bila kita nasehati untuk berlomba-lomba dalam beramal sholeh dan meninggikan derajat mereka di dalam syurga, mereka akan berkata, "Kami masih berharap semoga ALLAH memasukkan kami ke surga, meskipun hanya di pintunya saja, atau di surga paling rendah."

Tampak bahwa semangat mereka untuk meraih derajat tertinggi surga sangat rendah dan tidak sebanding dengan semangat mereka dalam meraih kesenangan dunia yang fana. Padahal, Rasulullah S'AW memerintahkan umatnya agar berlomba-lomba meraih derajat tertinggi di surga, bukan berlomba-lomba meraih kehormatan dunia yang pasti akan binasa. Rasulullah S'AW bersabda, "Jika kalian berdo'a kepada ALLAH, mintalah surga firdaus, karena ia merupakan surga yang paling luas dan paling tinggi, yang di atasnya adalah Arsy Ar-Rahman serta darinya memancar sungai-sungai surga." (HR. Ahmad)

Derajat orang yang beramal tidak sama dengan orang yang tidak beramal. Demikian halnya, tidak sama pula derajat orang yang menghabiskan waktunya dalam ketaatan kepada ALLAH dengan orang yang menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan remeh, apalagi untuk bermaksiat kepada ALLAH. Maka, apakah kita akan mencari derajat tanpa beramal sholeh? Dengarkanlah firman ALLAH berikut ini:

"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS. Al-Jatsiyah: 21)

Muhammad bin An-Nadhar berkata, "Tidak ada seorang pun yang beramal di dunia ini kecuali tersedia baginya (para malaikat yang senantiasa berdo'a memohonkan kenaikan derajat baginya di akhirat. Jika dia berhenti, maka mereka pun berhenti. Sehingga, ketika mereka ditanya, "Mengapa kamu tidak bekerja?" Mereka menjawab, "Karena sahabat juga telah berhenti berbuat." (HR. Baihaqi)

Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata, "Orang yang selalu memelihara waktunya untuk beramal sholeh, ia akan terus naik menuju derajat kesempurnaan. Dan jika suatu saat ia menghambur-hamburkan waktu, sama sekali ia tidak akan tetap berada pada tempatnya yang tinggi, tetapi ia akan turun menuju tingkatan yang lebih rendah. Jika tidak naik, ia akan turun. Ini sebuah kepastian. Dan seorang hamba akan terus berjalan dan tidak akan pernah berhenti, dia pasti akan naik ke atas, atau turun ke bawah, atau mundur ke belakang.

Tak ada istilah berhenti bagi manusia dalam kehidupan ini. Demikian halnya dalam syariat; tak ada yang mengalami kemandegan sama sekali. Kehidupan ini tidak lain merupakan fase-fase yang ditempuh untuk menuju syurga, atau neraka. Tentu saja, dalam menjalani fase tersebut ada yang cepat dan ada yang lambat, ada yang maju atau mundur di tengah perjalanan. Semuanya bergerak; tidak ada yang berhenti sama sekali. Yang ada hanyalah perbedaan dalam cara berjalan, dalam kecepatan dan kelambanan.

"Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur." (QS. Al Muddatstsir: 35-37)

ALLAH tidak menyebut kata berhenti, karena tidak ada tempat yang ada di antara surga dan neraka. Tidak ada jalan bagi yang menempuh perjalanan selain dunia dan akhirat. Barangsiapa tidak maju dengan amal sholeh, maka dia akan mundur dengan amal yang buruk. (Tabdzib Madaarijus Saalikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, hal 155)

Taken From: Buku Amalan-amalan untuk Meraih Tingkatan Tinggi Surga

Pantun Minang Percintaan...

Pulau Panjang tadorong panjang
Nan di dakek pulau Sambilan
Kasiah sayang tadorong sayang
Indak dapek lai ditahan

Simpang ampek Sukomananti
Padang Tujuah mangko Pinaga
Kok dakek namuah den pai
Ba-a pulo hati rang nan tingga

Jam Gadang di Bukik Tinggi
Sampai bunyinyo ka Birugo
Kasiah sayang jan dihabisi
Sagadang rambuik tinggakan juo

Anak urang Tanjuang Andaleh
Pai ka balai hari sanjo
Bia habih bialah tandeh
Hati den kanai kaba-a juo

Ka suok jalan ka Supinang
Ka kida jalan ka Muaro
Jo suok jawek kasiah sayang
Jo kida apuih aie mato

Kok nak tahu di ladang padi
Di Panti jalan ka Cubadak
Kok nak tahu di hati kami
Lieklah api makan dadak

Limbah Medis...

Waspada!!! Limbah Medis Bisa Jadi ada di Dekat kita

Setelah pengangkatan tumor, pemakaian jarum suntik, atau pembedahan organ tubuh, ke mana peralatan yang terkontaminasi virus HIV atau hepatitis? Ke mana sisa organ tubuh yang mengandung penyakit, botol infus, dan jarum-jarum suntik? Siapa yang menjamin bahwa limbah medis itu telah dimusnahkan secara sempurna?

Yuyun Ismawati terkejut dengan fakta yang ditemuinya di lapangan. Sepanjang Juli sampai Desember 2009, ia dan Lembaga Bali Fokus telah berkeliling ke enam rumah sakit (RS) di tiga kota. Mereka menelilti pengelolaan limbah di RS berinisial AM dan MH di Medan, BM dan HS di Bandung, serta SM dan LB di Makasar.

"Sampah dari keenam RS itu dibawa oleh pengangkut sampah lokal dengan izin dan fasilitas seadanya. Rata-rata, RS ini
juga tidak mengemas limbah medis sesuai aturan. Harusnya limbah medis dibungkus dengan kantong plastik khusus berwarna kuning, waterproof, tapi bahkan kantongnya saja tidak ada di pasaran. Nyatanya, dua RS sama sekali tidak melakukan pemisahan sampah. Yang satu memakai kantong plastik biasa dan satu RS lagi malah memakai kardus bekas," urai Yuyun, aktivis lingkungan peraih Goldman Prize 2009.

Kita mungkin berkata, 'so what'? Tapi coba pikir, Sampah medis yang seharusnya dipisahkan dan selanjutnya dibakar di ncinerator adalah limbah yang terkena infeksi dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Limbah B3 ini antara lain sisa obat, organ-organ tubuh, misalnya sisa amputasi atau pengangkatan tumor atau peralatan yang terkontaminasi virus, antara lain jarum suntik.

Limbah medis ini, bila RS tidak membakarnya, maka akan dibawa ke tempat pembuangan sampah biasa. Pemulung yang mengais-ngais sampah atau kucing yang mencari makan di tempat samapah pun berisiko tinggi terkena penyakit.

Seorang pemulung yang biasa mengais rejeki di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantargerbang pernah merasakan dampak dari pembuangan limbah medis yang tak tepat. Pak Soleh -sebut saja begitu- beberapa tahun lalu tertusuk jarum suntik bekas ketika sedang memilah sampah. Malamnya, Pak Soleh meriang, panas dingin. Tubuhnya panas tapi ia menggigil kedinginan. Sampai beberapa malam, kondisinya tak membaik. Hingga saat ini, ia tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Kejadian tertusuk jarum suntik bekas tak cuma terjadi pada Pak Soleh. Beberapa pemulung pun pernah mengalaminya, meskipun mereka tak lantas panas dingin. Karena faktor ekonomi, mereka tak pernah memeriksakan diri ke dokter bila jatuh sakit. Namun, dengan risiko setinggi itu, tak mengherankan bila di antara mereka ada yang mengidap HIV atau Hepatitis C.

Yang mengenaskan, para pemulung yang bekerja di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) atau TPA tentu bukan hanya orang dewasa. Marie Claire melihat beberapa anak pemulung sedang membantu orang tua mereka mengais sampah.

Terkadang, para pemulung bahkan tidak perlu mengais. Ada oknum RS yang berpraktek menjual botol infus pada mereka, atau pada tukang sampah. Padahal, botol infus juga termasuk kategori limbah B3.

BUkan cuma manusia yang berisiko terpapar virus atau penyakit dari limbah medis. Kucing dan anjing yang dilihat Marie Claire mencari makan di tempat-tempat sampah pun memiliki risiko tinggi. Cerita soal kucing atau anjing yang menggondol 'potongan daging' aneh pun menyebar di antara komunitas pemulung. Entah virus atau penyakit apa yang bisa menjangkit mereka, dan pada akhirnya masuk kembali ke sekitar kita.

Soal pemilahan limbah medis dan non medis serta ke mana mereka dibuang sudah menjadi suatu masalah. Namun masalah lain yang tak kalah penting adalah mengenai pembakaran sampah.

Limbah infeksius dan B3 harus dibakar dengan incinerator khusus. Panasnya pun harus mencapai 1000-1200 derajat Celcius. Yang benar-benar harus dibakar antara lain jarum suntik, botol infus bekas, kateter, dan sarung tangan bekas.

Di sini, segala macam masalah bisa timbul. Dari enam RS di atas, hanya dua yang memiliki incinerator sendiri. Dua RS lain sebenarnya memiliki incinerator, tapi sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Pasalnya, masyarakat sekitar protes karena asap hasil pembakaran mulai mengganggu mereka. Akhirnya, dua RS ini dan dua lagi sisanya mengirim limbah medis mereka untuk diolah di RS lain, atau ke perusahaan pengolahan limbah swasta.

Di dua RS yang memiliki incinerator pun, pembakarannya tidak sempurna karena limbahnya tak hancur seluruhnya. Abunya masih mengandung sampah medis yang berbentuk.

Hal semacam ini disaksikan sendiri oleh Marie Claire ketika berkunjung ke salah satu RS di daerah Jakarta Pusat. Sore itu, para petugas sedang membakar sampah medis dengan suhu 600 dan 800 derajat Celcius. "Panas segini saja sudah cukup, kok. Sampahnya sudah hancur," kata seorang petugas. Dia tidak menjawab ketika Marie Claire bertanya, 'bukankah limbah medis harus dibakar dalam suhu minimal 1000 derajat Celcius?"

Masalahnya, bahan plastik atau karet yang tidak dibakar sempurna akan menghasilkan dioxin atau racun. Jika lokasi pembakaran berdekatan dengan pemukiman, asap yang dihasilkan akan mencemari udara.

Soal pengangkutan limbah juga menjadi persoalan. Dua RS dari enam RS di atas bahkan mengangkut limbahnya dengan ambulans. Pasien yang selanjutnya diangkut oleh ambulans pun berisiko terkontaminasi. Bayangkan bila kita atau anggota keluarga kita yang berada di atas ambulans yang baru saja mengantar limbah medis berbahaya.

Limbah medis yang telah dibakar dengan incinerator tetap meninggalkan pekerjaan rumah. Abu hasil pembakaran limbah medis adalah toxic yang harus dikumpulkan dan diolah di instalasi pengolahan limbah B3. Namun, di seluruh Indonesia hanya ada satu, yaitu PPLI (PT Prasadha Pamunah Limbah Industri) di Cileungsi, Bogor. Karena cuma satu, sebagian Rs di Batam dan Sumatera Utara biasanya mengirimkan limbah mereka untuk diolah di Singapura. Tapi sebagian besar RS lainnya hanya menumpuk abu di belakang RS atau membawanya ke TPA dan bercampur dengan sampah kota. Masalahnya, biaya pengangkutan limbah dan pengolahan perkilonya mahal.

Lalu siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mengawasi masalah ini? Pada kenyataannya, baik kementrian Lingkungan Hidup (KLH) maupun Departemen Kesehatan (DepKes) tidak memiliki data tentang pengolahan limbah RS. Memang ada data tentang 1751 RS di Indonesia. Tapi sama sekali tidak ada cerita soal diapakan dan ke mana limbah medis dan non medis RS itu pergi. Itulah yang membuat Yuyun dan Tim Bali Fokusnya membuat assesment sendiri ke enam RS di tiga kota.

Mengawasi RS yang sedemikian banyaknya saja sudah sulit. Belakangan semakin marak pula klinik perawatan, klinik colon teraphy dan Laboratorium yang beroperasi di dalam mal atau bangunan perkantoran. Ke mana perginya semua jarum suntik bekas dan sampah lainnya? Kita bisa melangkah ringan, shopping di mal yang kinclong dan sejuk, tapi kita tentu tak pernah melirik tempat sampah di belakang mal. Seharusnya tak boleh ada medical treatment facility di tempat-tempat umum. Dan harus ada cluster serta aturan ketat untuk lokasi RS.

Semua masalah ini tentu tak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Depkes, KLH, dan semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk membahas soal pengolahan limbah medis. Selanjutnya harus ada pengawasan yang lebih ketat. Bila tak segera diselesaikan, masalah ini akan menjadi bom waktu yang merugikan kita semua. Dan Rumah Sakit, tak hanya menjadi tempat untuk mengobati penyakit, tapi juga sumber terjadinya penyakit, langsung maupun tidak.


Sumber: Artikel yang ditulis oleh Sherly Puspita dalam majalah Marie Claire (Setelah membaca artikel ini, bunga merasa berkewajiban untuk ikut menyebar luaskan informasi kepedulian ini pada masyarakat, mungkin diawali dengan komunitas pembaca blog) ^_^


Tuesday, June 1, 2010

IBROH SIROH NABAWIYAH (Part 5)

Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

•Pemberangkatan Sariyah ke Berbagai Kabilah dan Pengiriman surat kepada Para Raja.
Selanjutnya mulailah Rasulullah S’AW memberangkatkan beberapa sariyah (pasukan kecil dari para sahabatnya) ke berbagai kabilah Arab yang tersebar di Jazirah Arabia guna menunaikan tugas dakwah (seruan) kepada Islam; jika mereka menolak, mereka akan diperangi. Pemberangkatan Sariyah ini berlangsung selama tahun ke-9 Hijriah dan jumlahnya mencapai sepuluh sariyah. Pada periode ini pulalah Nabi S’AW mulai mengirim beberapa surat kepada para raja dan pemimpin dunia. Mengajak mereka untuk memeluk Islam dan meninggalkan agama-agama kebatilan yang mereka anut. Ibnu Sa’ad meriwayatkan di dalam Thabaqat-nya, “Sekembalinya dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah tahun keenam Hijriah, Rasulullah SAW mengirim beberapa utusan kepada raja dan menulis beberapa surat; mengajak mereka untuk menganut Islam. Dikatakan kepada Rasulullah S’AW, ‘Sesungguhnya, para raja tidak mau membaca surat yang tidak distempel.’ Karena itu, sejak itu, Rasulullah S’AW membuat stempel (cincin) terbuat dari perak yang bertuliskan tiga kata
“Muhammad Rasul Allah”
Dengan cincin inilah, Rasulullah S’AW menstempel surat-suratnya.

Pada bulan Muharram tahun ke-9 Hijriah, berangkatlah dalam satu hari sebanyak enam utusan. Masing-masing utusan menguasai bahasa negeri dan kaum yang hendak didatanginya.

Utusan yang pertama dikirim oleh Rasulullah S’AW adalah Amr bin Umaiyyah adh-Dhamri, Ia dikirim menemui Najasyi. Najasyi menerima surat Nabi S’AW kemudian meletakkannya di hadapannya dan ia turun dari tempat tidurnya lalu duduk di atas tanah dengan penuh tawadhu’ dan akhirnya masuk Islam. Ketika itu, ia berkata, “Seandainya aku bisa datang menemuinya (Nabi S’AW), niscaya aku berangkat menemuinya.
Rasulullah S’AW juga mengutus Dahyah bin Khalifah al-Kalbi kepada Heraclius, Raja Romawi. Surat Rasulullah S’AW ini disampaikan oleh Dahyah kepada Gubernur Bashra untuk selanjutnya diteruskan kepada Heraclius. Terjemahan Surat itu berbunyi,
“Dari Muhammad Rasul Allah kepada Heraclius Raja Romawi. Keselamatan atas orang yang hidup mengikuti hidayah Ilahi. Amma ba’du. Anda kuajak supaya memeluk Islam. Peluklah Islam, tentunya anda akan selamat dan Allah akan Melimpahkan dua kali lipat imbalan pahala kepada anda. Akan tetapi, jika anda menolak, anda memikul dosa para petani (rakyat). Dan, “Wahai para Ahli Kitab, marilah kita bersatu kata, antara kalian dan kami bahwa kita tidak bersembah sujud selain kepada Allah, dan bahwa kita tidak akan menjadikan siapa pun di antara kita sendiri tuhan-tuhan selain Allah. Apabila mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim.’”

Selanjutnya, Ibnu Sa’ad berkata di dalam Thabaqat-nya, “Setelah membaca surat tersebut, Heraclius berkata kepada para pembesar dan stafnya, ‘Wahai bangsa Romawi, adakah kalian menghendaki kemenangan, kelurusan, kelanggengan kerajaan kalian, dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Isa Putra Maryam?’ Mereka menjawab, ‘Apa itu wahai paduka raja? Ia menjelaskan, ‘Kalian mengikuti Nabi dari Arab ini.’ Mendengar ini, bangkitlah kemarahan mereka. Bahkan mereka menentang hal ini seraya mengangkat salib. Melihat sikap ini, Heraclius pun merasa putus asa mengharapkan keislaman mereka dan takut akan keselamatan diri dan kerajaannya. Ia kemudian berkata, ’Hal ini kukatakan kepada kalian hanyalah sekadar menguji sejauh mana keteguhan kalian terhadap agama kalian. Sesungguhnya, aku telah melihat sikap kalian yang sangat menyenangkan.’ Akhirnya, mereka bersembah sujud kepadanya.”

Rasulullah S’AW mengutus Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi kepada Kisra untuk menyampaikan surat dan mengajaknya masuk Islam. Abdullah bin Hudzafah berkata, ”Surat itu kemudian dirobek-robeknya.” Setelah mendengar berita ini, Rasulullah S’AW berdo’a, ”Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.” Selanjutnya, Kisra menulis surat kepada Badzan, Gubernur Yaman, yang isinya memerintahkan supaya Badzan mengutus dua orang lelaki perkasa untuk menangkap Nabi S’AW. Perintah ini dilaksanakan Badzan dengan mengutus dua orang lelaki perkasa ke Madinah guna menyampaikan surat Badzan kepada Nabi S’AW. Nabi S’AW menyambutnya seraya tersenyum dan berkata, ”Kembalilah dulu hari ini. Besok saja kalian menghadapku karena aku ingin mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang aku inginkan.” Keesokan harinya, kedua orang tersebut menghadap Nabi S’AW lalu Nabi S’AW berkata kepada keduanya, ”Sampaikan kepada gubernur kalian bahwa Rabbku telah membunuh tuannya, Kisra, pada malam ini, tepatnya enam jam yang lalu. Ibnu Sa’ad berkata, ”Yaitu pada malam selasa, 10 Jumadil ’Ula tahun ke-9. Allah Menggerakkan Syirawaih, anak Kisra, untuk membunuhnya.” Akhirnya, kedua orang itu kembali menemui Badzan guna menyampaikan berita tersebut. Setelah mendengar berita ini, Badzan beserta anak buahnya masuk Islam.

Harits bin Umair al-Azdi diutus kepada penguasa Romawi di Bashra, Syurahbil bin Amr al-Ghassani, yang kemudian mengikat al-Harits bin Umair dan membunuhnya. Para ulama sirah berkata, ”Tidak ada utusan Rasulullah S’AW yang dibunuh selain al-Harits bin Umair.” Selain itu, Rasulullah S’AW juga mengutus beberapa utusan yang lain kepada pemimpin Arab di berbagai wilayah. Di antara mereka ada yang menolak, tetapi sebagian besar menerimanya dan masuk Islam.

Di tahun ini pula, Rasulullah S’AW menerima banyak utusan yang berdatangan dari berbagai daerah guna menyatakan keislaman mereka. Di antara pemimpin Arab yang masuk Islam pada masa ini ialah Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Amr bin Ash, ia berkata, ”Aku sengaja keluar untuk menemui Rasulullah S’AW. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Khalid bin Walid yang datang dari Makkah. Peristiwa ini terjadi sebelum penaklukan Makkah. Aku kemudian bertanya, ’Hendak kemana wahai Abu Salman?’ Ia menjawab, ’Demi Allah, aku sedang pergi untuk masuk Islam. Kapan lagi?’ Aku katakan padanya, ’Aku juga datang untuk masuk Islam.’ Akhirnya, kami berangkat bersama-sama. Khalid maju untuk masuk menyatakan diri masuk Islam kemudian aku mendekat dan berbaiat kepada Nabi S’AW.


•Beberapa ’Ibrah dari Umrah Qadha (tahun ke-7 Hijriah)
Umrah ini dianggap sebagai penunaian janji Allah kepada Rasulullah S’AW dan para sahabatnya bahwa mereka akan masuk Makkah dan thawaf di Ka’bah. Umar pernah bertanya kepada Rasulullah S’AW pada waktu perdamaian Hudaibiyah, ”Bukankah engkau pernah menjanjikan bahwa kita akan thawaf di Ka’bah?” Nabi S’AW menjawab, ”Ya, tetapi apakah aku menyatakan bahwa engkau akan melaksanakannya tahun ini? Umar mengakui, ”Tidak.” Nabi S’AW menegaskan, ”sesungguhnya, kamu akan datang ke sana dan thawaf di Ka’bah.”
Ini adalah penunaian janji Rasulullah S’AW tersebut, di samping Allah juga mengingatkan kepada para hamba-Nya akan penunaian janji ini di dalam firman-Nya,
”Sesungguhnya, Allah pasti membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya4wl dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka 4wl Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia Memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (al-Fat-h[48]:27)
Selain itu, umrah ini mengandung arti pengkondisian dan pendahuluan bagi ”kemenangan besar” (al-fat-hul kabir) yang datang sesudahnya. Pemandangan berupa sejumlah besar dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mengelilingi Rasulullah S’AW dengan penuh semangat dalam thawaf, sa’i, dan seluruh upacara pelaksanaan ibadah umrah yang disaksikan oleh kaum Musyrikin ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap jiwa mereka. Mereka telah dicekam rasa takut terhadap kaum Muslimin setelah dikejutkan oleh kenyataan yang sama sekali bertentangan dengan gambaran yang selama ini mereka percayai tentang kaum Muslimin. Digambarkan bahwa kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan pemalas akibat penyakit panas dan jeleknya cuaca Yatsrib. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kaum Muslim berlari kecil di sekitar Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i). Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ”Itukah mereka yang kalian sangka loyo akibat penyakit panas...?! mereka lebih gagah dari ini dan itu!”
Tak pelak lagi bahwa umrah ini-dengan sedemikian rupa pelaksanaannya-memiliki pengaruh besar dalam jiwa kaum musyrikin dan menjadi ”persiapan” untuk ”Fat-hu Makkah” (Penaklukkan Makkah) secara damai.

Pelajaran lain yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pertama, ketika thawaf disunnahkan menampakkan lengan dan berlari-lari kecil pada tiga putaran yang pertama karena mengikuti Rasulullah S’AW. Hal ini disunnahkan bagi thawaf yang dilanjutkan dengan Sa’i. Demikian pula disunnahkan berlari-lari kecil antara dua tanda di Mas’a (tempat sa’i antara Shafa dan Marwah), tetapi tidak disunnahkan bagi wanita.
Kedua, sebagian fuqaha membolehkan akad nikah dalam keadaan ihram haji atau ihram umrah, berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi S’AW melaksanakan akad nikahnya dengan Maimunah dalam keadaan ihram.
Akan tetapi, jumhur fuqaha tidak membolehkan seseorang yang sedang ihram untuk melangsungkan akad nikah untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa seorang yang sedang ihram tidak boleh mewakili akad nikah untuk orang lain yang tidak dalam keadaan ihram.

Demikianlah Rasulullah S’AW telah menunaikan empat kali umrah dan satu kali haji. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas R’A bahwa Rasulullah S’AW menunaikan empat kali umrah yang semuanya dilaksanakan pada bulan Dzulqa’idah kecuali yang dilaksanakan bersama hajinya: pertama, umrah dari Hudaibiyah di bulan Dzulqa’idah; kedua, umrah pada tahun berikutnya di bulan Dzulqa’idah; ketiga, umrah dan Ji’ranah di mana dibagikan rampasan Hunain di bulan Dzulqa’idah; keempat, umrah bersama hajinya.

•Perang Mu’tah
Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ’Ula tahun ke-18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Yang menjadi sebab terjadinya peperangan ini adalah terbunuhnya al-Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah S’AW kepada Raja Bashra. Setelah Rasulullah S’AW menyerukan kaum Muslimin agar berangkat menuju Syam, dengan serta merta berkumpullah sebanyak tiga ribu tentara kaum muslimin yang siap berangkat ke Mu’tah.
Rasulullah S’AW tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian kita tahu bahwa ini bukan ghazwah, melainkan hanya sariyah. Akan tetapi hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya. Rasulullah S’AW berpesan kepada mereka, ”Yang bertindak sebagai amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya. Akan tetapi, di dalam Bukhari tidak ada tambahan, ”Jika ia terbunuh, hendaklah kaum Muslimin mengangkat salah seorang di antara mereka.”). Selanjutnya, Nabi S’AW mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya di sana, mereka menyerang dan meminta pertolongan kepada Allah.

Beberapa Ibrah:
Di antara hal yang menimbulkan decak kekaguman dalam peperangan ini ialah perbedaan besar antara jumlah pasukan kaum Muslimin dan jumlah pasukan Romawi yang didukung oleh orang-orang musyrikin Arab. Jumlah pasukan musyrikin itu mencapai 200.000 personil, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Sa’ad, dan kebanyakan penulis sirah. Perbandingan jumlah yang sangat tidak seimbang ini, jika direnungkan, menjadikan pasukan Muslimin berada di hadapan mobilisasi pasukan secara besar-besaran dari Romawi dan sekutunya (musyrikin Arab). Laksana parit kecil menghadapi lautan besar yang bergelombang. Dari segi peralatan dan senjata perang pun, pasukan musyrikin jauh lebih besar dan canggih, sedangkan kaum Muslimin justru tengah menghadapi kekurangan dan paceklik.

Subhanallah, semua ini-padahal mereka berangkat tanpa Nabi S’AW dalam sebuah sariyah-tidak menggentarkan kaum Muslimin, bahkan semua kekuatan tersebut sama sekali tidak dijadikan masalah berat. Padahal kalau mereka melihat pasukan yang mengepungnya, niscaya mereka akan seperti sebuah batu kecil di tengah padang pasir.
Kekaguman kita akan semakin bertambah besar manakala kita melihat kaum Muslimin dengan tegar dan berani menghadapi peperangan yang tidak seimbang ini. Amir (panglima) perang mereka yang pertama, kedua, dan ketiga gugur, tetapi mereka tetap tegar menerjang pintu syahadah sehingga Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati pasukan musyrikin tanpa adanya sebab yang terlihat dan akhirnya pasukan Muslimin berhasil memukul mundur pasukan musyrikin dan membunuh sejumlah besar tentara mereka.
Akan tetapi, semua kekaguman dan keheranan ini akan segera sirna manakala kita mengingat apa yang dapat dilakukan oleh keimanan kepada Allah, sikap tawakal semata-mata kepada-Nya, dan yakin akan janji-Nya.

Selain itu, peperangan ini mengandung sejumlah pelajaran penting:

Pertama, taushiah (pesan) Nabi S’AW tersebut menunjukkan bahwa seorang khalifah atau pemimpin kaum Muslimin boleh mengangkat seorang Amir dengan suatu syarat atau beberapa amir bagi kaum Muslimin secara berurutan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah S’AW dalam pengangkatan Zaid, kemudian Ja’far dan Abdullah bin Rawahah. Para ulama berkata, ”Yang benar, apabila seorang khlaifah telah melakukan pengangkatan beberapa amir, pengangkatan semuanya dinyatakan sah dalam waktu yang sama secara serentak, tetapi tidak dilaksanakan kecuali sesuai urutan.” (Fat-hul Bari, 7/361)

Kedua, taushiah Rasulullah S’AW juga menunjukkan disyariatkannya ijtihad kaum Muslimin dalam memilih amir mereka. Apabila amir mereka tidak ada (meninggal) atau seorang khalifah menyerahkan pemilihannya kepada mereka. Berkata ath-Thahawi, ”Ini adalah dasar yang menegaskan bahwa kaum Muslimin wajib mengajukan seorang imam guna menggantikan imam yang tidak ada sampai ia datang.”
Taushiah ini juga menunjukkan disyariatkannya beberapa ijtihad bagi kaum Muslimin di masa hidup Rasulullah S’AW.

Ketiga, seperti kita ketahui, bahwa Nabi S’AW menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada para sahabatnya seraya kedua matanya meneteskan air mata, padahal jarak antara Nabi S’AW dan pasukan kaum Muslimin sangat jauh.
Ini menunjukkan bahwa Allah telah melipat bumi untuk Nabi-Nya sehingga beliau bisa melihat keadaan kaum Muslimin yang sedang berperang di perbatasan Syam dan peristiwa-peristiwa yang dialami para sahabatnya. Ini termasuk perkara luar biasa yang banyak dikaruniakan Allah kepada kekasih-Nya.
Hadits itu sendiri menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi S’AW kepada sahabatnya. Bukan hal kecil, seorang Nabi menangis di hadapan para sahabatnya saat menyampaikan berita para syuhada tersebut. Kita tentunya memahami bahwa menangisnya Rasulullah S’AW atas kematian mereka ini tidak bertentangan dengan sikap ridha terhadap qadha dan qadhar Allah, karena sebagaimana dikatakan Nabi S’AW, mata ini bisa meneteskan air mata dan hati pun bisa bersedih. Itu adalah kelembutan alami dan rahmat yang diftrahkan Allah kepada mereka.

Keempat, hadits mengenai penyampaian Nabi S’AW tentang berita ketiga orang syuhada tersebut mencatat keutamaan khusus bagi Khlaid bin Walid R’A. Rasulullah S’AW di akhir sabdanya menegaskan kepada mereka, ”...sehingga panji itu diambil oleh ’Pedang Allah’ dan akhirnya mengalahkan mereka.” Peristiwa ini merupakan peperangan yang pertama diikuti oleh Khalid bin Walid dalam barisan kaum Muslimin sebab belum lama ia menyatakan dirinya masuk Islam. Dari sini diketahui bahwa Nabi S’AW-lah yang memberikan panggilan ”Pedang Allah” kepada Khalid bin Walid R’A.
Di dalam peperangan ini, Khalid R’A telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata, ”Dalam Perang Mu’tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka.”

Ada pun tentang sebab ucapan kaum Muslimin kepada pasukan mereka ketika kembali ke Madinah, ”Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah,” adalah karena mereka tidak mengejar terus orang-orang Romawi yang sudah kalah itu dan meninggalkan daerah yang telah direbut melalui peperangan, sebab, hal semacam ini tidak lumrah di kalangan mereka dalam peperangan-peperangan yang lain. Khalid menilai cukup sampai sebatas itu saja kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi, seperti kita ketahui, tindakan tersebut merupakan langkah bijaksana yang diambil oleh Khalid R.’A. demi menjaga pasuka Muslimin dan kesan kehebatan mereka (tentara Muslimin) di hati orang-orang Romawi itu. Karena itu, Rasulullah S’AW membantah mereka dengan sabda beliau, ”Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mereka mundur untuk menyerang balik, insya4wl.”


•Penaklukan Kota Makkah (Fat-hu Makkah) → bulan Ramadhan 8 H
Peristiwa-peristiwa kemenangan besar ini mengandung banyak pelajaran dan hukum, di antaranya sbb:
Pertama: Hal yang berkaitan dengan Perjanjian damai dan Pelanggarannya.
1.Penyebab Fat-hu Makkah menunjukkan bahwa Ahlul ’Ahdi (orang yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) apabila memerangi orang-orang yang berada di bawah jaminan perlindungan dan keamanan kaum muslimin, ia boleh diperangi dengan sebab tindakan pengkhianatan tersebut. Perjanjian antara mereka dan kaum Muslimin menjadi batal. Inilah yang disepakati para ulama secara umum.

2.Cara yang ditempuh Rasulullah S’AW dalam menaklukkan Makkah menunjukkan bahwa seorang imam kaum Muslimin dan pemimpin mereka boleh melancarkan serangan dan serbuan secara mendadak terhadap musuh disebabkan oleh pengkhianatan terhadap perjanjian tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Nabi S’AW memutuskan keberangkatan ke Makkah seraya berdo’a,
”Ya Allah, tutuplah mata orang-orang Quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba.”
Demikianlah kesepakatan para ulama secara umum.
Apabila tidak ada pengkhianatan, hanya dikhawatirkan akan terjadinya pengkhianatan, berdasarkan beberapa bukti dan tanda yang sangat kuat, seorang imam tidak dibolehkan langsung membatalkan dan menyerbu atau menyerang mereka secara tiba-tiba. Tapi mereka semua harus diberitahukan terlebih dahulu dengan dalil firman Allah,
”Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (al-anfal [8]: 58)
Artinya, beritahukanlah pembatalan kamu tentang perjanjian itu kepada mereka.

3.Di dalam amalan Rasulullah S’AW ini juga terdapat dalil bahwa tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian mereka (musuh) dianggap sebagai tindakan mereka semua, selama tidak ada orang lain yang menolak tindakan tersebut secara jujur. Nabi S’AW menilai diamnya orang-orang Quraisy dan pengakuan mereka terhadap tindakan serbuan yang dilakukan oleh sebagian mereka kepada sekutu kaum Muslimin, sebagai bukti bukti bahwa mereka telah sama-sama melakukan pengkhianatan. Hal ini karena ketika orang-orang Quraisy itu masuk dalam ikatan perjanjian damai adalah karena mengikuti para pemimpin mereka. Demikian pula dalam soal pengkhianatan perjanjian ini.

Selain itu, Rasulullah S’AW juga pernah menyerbu semua pembangkang bani Quraizhah tanpa menanyakan kepada masing-masing mereka apakah ia mencederai perjanjian atau tidak. Demikian pula tindakan Nabi S’AW terhadap bani Nadhir. Beliau telah mengusir mereka semua dengan sebab pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian mereka.


•Kedua: Hathib bin Abi Balta’ah dan Hal yang Berkaitan dengan Tindakannya
1.Di sini kita menemukan salah satu bukti dari kenabian Muhammad S’AW. Beliau mengatakan kepada sebagian sahabatnya, ”Berangkatlah sampai kalian tiba di kebun Khak karena di kebun ini ada seorang wanita yang sedang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.” Siapakah kiranya yang memberitahukan tentang surat ini kepadanya? Ia adalah wahyu... dengan demikian, ia adalah dukungan Ilahi kepada Nabi-Nya agar rencana Ilahi untuk Mengkaruniakan kemenangan besar kepada Nabi-Nya berjalan dengan baik.

2.Pendapat yang benar menurut semua imam yang empat dan jumhur ulama: tidak dibolehkan menyiksa tertuduh yang belum terbukti kejahatannya dengan bukti-bukti yang sah dan cukup demi mendapatkan pengakuannya. Orang yang tertuduh tetap bebas selama belum terbukti kesalahannya (praduga tak bersalah). Di dalam al-Mudawwanah dari riwayat Sihnun dari Malik R.A. terdapat perkataannnya, ”Aku tanya, ’Apa pendapat anda jika ia mengakui sesuatu dari hukum hadd setelah diancam atau diborgol atau diteror atau dipukul atau dipenjarakan, apakah harus dikenakan hukum hadd atau tidak?” Ia berkata bahwa Malik menjawab, ”Barangsiapa memberikan pengakuan setelah diancam maka ia tidak boleh dikenakan hukuman. Teror, borgol, ancaman, penjara, dan pukulan menurut saya adalah ancaman.” Selanjutnya, ia berkata, ”Aku tanyakan, ’Jika orang itu dipukul dan diancam kemudian mengemukakan orang yang terbunuh atau menunjukkan barang yang dicuri, apakah dikenakan hukum hadd atas dasar pengakuannya itu atau tidak?’ Ia menjawab, ’Tidak boleh dikenakan hukum hadd atasnya kecuali jika ia mengakui hal tersebut dalam keadaan aman atau tidak takut sesuatu.’”

3.Hadits tentang teguran Rasulullah S’AW kepada Hathib dan jawabannya kepada Nabi S’AW kemudian ayat al-Quran yang diturunkan dengan sebab peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslimin – dalam kondisi apa pun – tidak dibolehkan menjadikan musuh-musuh Allah sebagai teman-teman setia yang diberi berbagai informasi perjuangan berdasarkan rasa kasih sayang atau mengulurkan kepada mereka tangan persaudaraan dan kerja sama. Hukum ini tetap berlaku kendatipun Nabi S’AW memaafkan Hathib bin Abi Balta’ah yang berdalih memiliki hubungan sangat erat dengan Quraisy.

Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan mengenai peristiwa ini secara tegas memerintahkan kaum Muslimin agar memberikan wala’ (kesetiaan) mereka hanya kepada Allah dan menjalin hubungan mereka dengan manusia, siapa pun mereka, atas dasar wala’ mereka kepada agama yang hanif ini. Jika tidak, bagaimana bisa dibayangkan kaum Muslimin akan bersedia mengorbankan harta, jiwa, syahwat, dan hawa nafsu mereka di jalan Allah?

Itulah persoalan sebagian besar orang-orang yang menyatakan dirinya Muslim di abad ini. Mereka pergi ke masjid menunaikan sholat, banyak membaca dzikir, dan tangan mereka tidak pernah lepas dari tasbih, tetapi mereka menjalin hubungan dengan manusia atas dasar wala’ kepada keluarga dan kerabat atau kepentingan harta dan dunia ataupun keinginan syahwat dan ambisi pribadi. Tidak penting apakah hal itu benar atau bathil. Mereka bahkan menjadikan agama Allah sebagai sampul bagi ambisi duniawi yang rendah!
Mereka adalah orang-orang munafik yang lantaran ulah mereka, kaum Muslimin harus mengalami berbagai keterbelakangan, perpecahan, dan kelemahan.


•Ketiga: Abu Sufyan dan Sikap Rasulullah S’AW terhadapnya
Sungguh ajaib, di hari kemenangan besar ini, Abu Sufyan merupakan orang yang pertama memperingatkan kaumnya dari usaha melakukan perlawanan kepada Rasulullah S’AW dan pelopor orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah secara berduyun-duyun pada hari itu, padahal Abu Sufyan adalah penggerak dan pemimpin utama setiap peperangan yang dilancarkan Makkah terhadap Rasulullah S’AW di masa Jahiliyah.
Barangkali hikmah Ilahiah menghendaki penaklukkan Makkah tanpa peperangan sama sekali dan tunduknya para penduduk Makkah kepada Rasulullah S’AW-padahal mereka pernah mengusir dan menyiksanya-tanpa perjuangan berat atau petualangan dari kaum muslimin. Karena itu, terjadilah Islamnya Abu Sufyan sebelum yang lainnya setelah pertemuannya dengan Rasulullah S’AW di Marrurzhahran, agar ia kembali kepada kaumnya di Makkah kemudian mencabut gagasan peperangan dari benak mereka dan mengkondisikan suasana Makkah untuk suatu kedamaian yang menguburkan kehidupan jahiliyah dan kemusyrikan kemudian menggantinya dengan kehidupan tauhid dan Islam.

Di antara bentuk pendahuluan untuk hal di atas adalah pernyataan Rasulullah S’AW, ”Barangsiapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan maka ia selamat.” Pernyataan ini dikeluarkan oleh Rasulullah S’AW setelah Abu Sufyan menyatakan diri masuk Islam, di samping untuk ”mengikat” hatinya kepada Islam dan meneguhkannya. Kita tentunya tahu bahwa Islam berarti penyerahan diri (istislam) kepada rukun-rukun Islam, baik yang bersifat amaliah maupun i’tiqadiah. Selanjutnya seorang Muslim harus memperkokoh keislaman dan keimanan di dalam hatinya melalui komitmennya secara terus-menerus kepada prinsip-prinsip dan rukun-rukun Islam. Di antara faktor-faktor yang akan memotivasi seseorang untuk tetap komitmen ialah ”penjinakan” yang dilakukan kaum Muslimin terhadap hatinya dengan berbagai sarana dan cara yang dibolehkan, sampai akar-akar keimanan di hatinya menjadi kuat dan keislamannya pun mantap tak mudah dihempas oleh badai kehidupan.

Hikmah ini tidak disadarai oleh sebagian sahabat Anshar ketika mereka mendengar Rasulullah S’AW mengumumkan, ”Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia selamat,” sehingga mereka mengira bahwa Rasulullah S’AW mengatakan demikian dan memberikan pengampunan karena rasa cintanya kepada negeri dan kaumnya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah R.’A bahwa ketika Nabi S’AW mengumumkan hal tersebut, sebagian orang Anshar berkata pada sebagian yang lain, ”Ia telah terpengaruh oleh rasa cintanya kepada kampung halamannya dan kasih sayang terhadap keluarganya.” Abu Hurairah R.’A. melanjutkan, ”Kemudian wahyu turun. Jika wahyu sedang diturunkan, kami biasa mengetahuinya dan tidak seorang pun di antara kami yang berani mengangkat kepala kepada Rasulullah S’AW sampai wahyu itu selesai diturunkan. Tak lama kemudian, Rasulullah S’AW berkata, ’Hai kaum Anshar!’ Mereka menjawab, ’Kami sambut panggilanmu, wahai Rasulullah S’AW!’ Nabi S’AW melanjutkan, ’Kalian mengatakan bahwa ia (Nabi S’AW) telah terpengaruh rasa cintanya kepada kampung halamannya.’ Mereka menjawab, ’Ya, kami telah mengatakannya.’ Sabda Nabi S’AW, ’Tidak! Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku telah berhijrah kepada Allah dan kepada kalian. Aku hidup di tengah-tengah kalian dan aku akan mati di tengah-tengah kalian!’ Mereka kemudian datang kepada Rasulullah S’AW sambil menangis dan berkata, ’Demi Allah, kami tidak mengatakan itu kecuali karena rasa cemburu kami kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Demikianlah perbedaan antara Islam dan Iman. Perbedaan inilah yang akan menghilangkan kemuskilan di sekitar proses Islamnya Abu Sufyan R.’A. Seperti yang kita tahu, ketika Nabi S’AW bertanya kepadanya, ”Belum tibakah saatnya bagi anda untuk menyadari bahwa aku adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, ”Demi Allah, mengenai hal yang satu ini sampai sekarang di dalam diriku masih ada sesuatu yang mengganjal!” Abbas R.’A kemudian berkata kepadanya, ”Celaka kamu! Masuklah Islam dan bersaksilah bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, sebelum lehermu dipenggal!” Saat itu, baru Abu Sufyan mengucapkan syahadat secara benar.
Kemuskilan yang mungkin timbul dari hal ini adalah, apa nilai keislaman yang tidak lahir kecuali setelah adanya ancaman? Hal ini karena ia baru saja mengatakan bahwa di dalam dirinya ada sesuatu ganjalan untuk mengakui kenabian Rasulullah S’AW. Tetapi kemuskilan itu dapat dihilangkan dengan penjelasan bahwa yang dituntut di dunia ini dari seorang musyrik atau kafir bukanlah kemantapan iman secara sempurna di dalam hatinya pada saat ia diharapkan masuk ke dalam Islam. Pada saat itu, ia hanya dituntut menyerahkan (istislam) diri dan lisannya kepada agama Allah kemudian tunduk untuk mentauhidkan Allah dan mengakui kenabian Rasul-Nya serta segala sesuatu yang dibawanya dari Allah. Adapun keimannya, ia akan tumbuh setelah itu seiring dengan kesinambungan komitmennya kepada Islam.

Itulah sebabnya, Allah Berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia,
”Orang-orang Arab Badui itu berkata, ’Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ’Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ’Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...’ ” (al-Hujurat [49]: 14)
Karena itu pula, pada saat peperangan, seorang Muslim tidak boleh menganggap Islamnya salah seorang di antara orang-orang kafir di tengah pertempuran sebagai sekadar takut dari pedang atau ingin mendapatkan rampasan atau menampakkan sesuatu yang tidak diyakininya, betapapun tanda-tanda yang membuktikannya. Hal ini karena yang dituntut darinya bukan langsung membersihkan apa yang ada di dalam hatinya, melaihkan memperbaiki (ishlah) apa yang tampak. Karena itu, Allah Menegur tindakan sebagian sahabat Rasulullah S’AW yang membunuh seseorang yang telah menyatakan keislamannya dalam suatu pertempuran karena keislamannya itu dinilai sekadar takut pada pedang.
”Hai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ’salam’ kepadamu, ’Kamu bukan seorang Mukmin.’ (Lalu kamu membunuhnya), dengan masuk mencari harta benda kehidupan dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa’ [4]: 94)
Perhatikanlah bagaimana Allah Mengingatkan mereka tentang keadaan mereka dahulu ketika masuk Islam. Kebanyakan mereka pada waktu itu seperti orang yang keislamannya tidak mereka akui sekarang. Allah kemudian Mengkaruniakan nikmat-Nya kepada mereka sehingga keislaman mereka menjadi baik dan bersih, seiring dengan pengalamannya yang terus-menerus bertambah terhadap hukum-hukum Islam.
Di antara kebijaksanaan Rasulullah S’AW setelah Abu Sufyan menyatakan keislamannya ialah memerintahkan Abbas supaya membawanya ke mulut lembah, tempat lewatnya tentara-tentara Allah agar dia menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana besarnya kekuatan Islam dan orang-orang yang dahulu berhijrah dari Makkah sebagai orang-orang tertindas! Di samping agar pelajaran ini menjadi penguat pertama bagi keislamannya dan peneguh bagi aqidahnya.
Karena itu, Abu Sufyan pun menyaksikan parade militer pasukan demi pasukan dengan penuh ketakjuban..., sehingga ia beberapa kali menoleh kepada Abbas R.’A. seraya berkata (sebagai orang yang masih dipengaruhi oleh sisa-sisa jahiliyah),
”Kemenakanmu kelak akan menjadi maharaja besar!”
Abbas kemudian menyadarkannya dari sisa-sisa kelalaiannya terdahulu seraya berkata,
”Wahai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian.”
Kerajaan apakah yang ia maksud? Ia pernah menampik kerajaan, harta kekayaan, dan kedudukan ketika semua itu kalian tawarkan kepadanya di Makkah dahulu, padahal ketika itu ia tengah mengalami penderitaan dan penyiksaan dari kalian. Tidakkah kalian memaksanya berhijrah dari negerinya hanya karena ia menolak kerajaan yang kalian tawarkan kepadanya dengan kenabian yang diserukannya agar kalian mengimaninya?
Sesungguhnya, ia adalah kenabian...!
Itulah ungkapan yang dikehendaki oleh hikmah Ilahiah melalui lisan Abbas R.’A sehingga menjadi jawaban abadi sampai hari kiamat atas setiap orang yang menuduh dakwah Nabi S’AW sebagai dakwah yang ingin merebut kekuasaan atau menginginkan kerajaan atau ingin menghidupkan nasionalisme. Ungkapan ini menjadi tema utama bagi kehidupan Rasulullah S’AW dari awal hingga akhir kehidupannya. Setiap saksi berbicara bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia, bukan untuk mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri di muka bumi.



•Keempat: Renungan tentang Cara Rasulullah S’AW Memasuki Makkah
1.Telah kita ketahui dalam Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mughaffal bahwa ketika memasuki Makkah, Rasulullah S’AW membaca surat al-Fat-h berulang-ulang dengan suaranya yang merdu sekali. Ini menunjukkan bahwa Nabi S’AW tengah hanyut dalam suasana syuhud ma’allah (khusyuk mengingat akan karunia Allah), bukan dengan kecongkakan dan kesombongan. Demikianlah kaum Muslimin tidak boleh merendahkan diri di hadapan Allah hanya pada waktu sulit dan musibah saja, sehingga ketika semua kesulitan itu telah sirna, mereka dimabuk kegembiraan sampai melupakan ajaran-ajaran Allah, seolah-olah mereka tidak pernah berdo’a dengan khusyuk kepada Allah meminta agar mereka dibebaskan dari kesulitan yang membelitnya.

2.Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini juga menunjukkan disyariatkannya membaca al-Qur’ an dengan suara merdu (tarannum) sesuai hukum bacaan yang ada. Suatu tata cara membaca yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mughaffal dengan istilah tarji’. Pendapat ini disepakati oleh semua ulama syafi’iyah, Hanafiah, sebagian besar ulama Malikiyah, dan lainnya.

3.Kebijaksanaan Rasulullah S’AW yang memerintahkan para sahabatnya agar memasuki Makkah dari berbagai arah adalah suatu tadbir (strategi) yang sangat bijaksana. Dengan demikian, para penduduk Makkah tidak memiliki kesempatan untuk melancarkan peperangan jika mereka menginginkannya karena mereka terpaksa harus memencar orang-orang mereka dan menempatkan kekuatan mereka ke berbagai penjuru Makkah sehingga kekuatan perlawanan mereka menjadi lesu. Rasulullah S’AW mengambil tindakan ini demi menghindarkan terjadinya pertumpahan darah dan memelihara makna keselamatan dan keamanan bagi tanah Harom. Karena itu, Nabi S’AW memerintahkan kaum Muslimin agar tidak melancarkan peperangan kecuali kepada orang yang memulai peperangan dan mengumumkan siapa yang memasuki rumahnya dan menutup pintu rumahnya maka ia selamat.


Kelima: Hukum-hukum yang Khusus Berkaitan dengan Tanah Suci Makkah
1.Larangan Berperang di dalamnya. Kita tahu bahwa Nabi S’AW tidak senang kepada peperangan yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap sebagian penduduk makkah yang diketahuinya melalui kilatan pedang dari kejauhan. Setelah diberitahukan kepada beliau bahwa Khalid bin Walid diserang terlebih dahulu kemudian mengadakan perlawanan, beliau bersabda, ”Ketentuan (qadha) Allah itu baik.” Selain dari yang dilakukan Khalid bin Walid ini, tidak terjadi peperangan lainnya di Makkah. Rasulullah S’AW juga pernah bersabda:
”Sesungguhnya, Makkah telah diharamkan oleh Allah, bukan manusia yang mengharamkannya; tidak boleh bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menumpahkan darah dan mencabut pohon di Makkah. Seandainya ada orang yang berdalih bahwa Rasulullah pernah melakukan peperangan di Makkah, katakanlah kepadanya, ’Sesungguhnya, Allah Mengizinkan hal itu kepadanya hanya sebentar. Sekarang, keharoman (kehormatan)nya telah kembali sebagaimana semula.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama kemudian membahas tentang bagaimana cara pelaksanaan hal ini dan cara mengkompromikan dengan nash-nash yang memerintahkan agar memerangi kaum musyrikin, para pemberontak, dan orang-orang yang telah divonis qishash. Mereka berkata, ”Berkenaan dengan orang-orang musyrik dan atheis, tidak ada masalah dengan mereka ini, sebab sesuai syariat, mereka tidak dibolehkan tinggal di Makkah. Bahkan, sekedar masuk saja, menurut Syafi’iah dan kebanyakan ulama mujtahidin, mereka tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah,
”...Sesungguhnya, orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at Taubah [9]: 28)
Para penduduk Makkah diharuskan memerangi mereka sebelum mereka sampai dan masuk ke Makkah. Selain itu, Allah telah menjamin akan Memelihara kehormatan Makkah dari adanya orang musyrik atau kafir yang tinggal di dalamnya. Ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan agama ini karena hal tersebut terbukti kebenarannya sebagaimana tertera di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya.
Sementara itu, tentang para pemberontak dan orang-orang yang mengumumkan pembangkangan terhadap Imam yang shahih, jumhur Fuqaha berpendapat bahwa mereka harus diperangi karena pembangkangan mereka apabila mereka tidak dapat disadarkan kecuali melalui peperangan. Sebab, memerangi para pemberontak itu termasuk Hak Allah yang tidak boleh diabaikan, terlebih lagi di dalam tanah Harom. Imam Nawawi berkata, ”Inilah pendapat yang dikutip dari jumhur. Pendapat ini benar dan dinyatakan oleh Syafi’i di dalam kitab Ikhtilaful Hadits.
Syafi’i berkata, ”Tentang zahir hadits-hadits yang melarang peperangan secara mutlak (termasuk peperangan dengan para pemberontak) dapat dijawab (dibantah) bahwa peperangan yang dimaksudkan itu adalah terhadap mereka dengan menggunakan alat seperti manjaniq dan lainnya. Apabila dapat diatasi dengan cara lain, boleh diperangi dari segala penjuru dan dengan segala bentuk.”
Sebagian fuqaha berpendapat, ”Para pemberontak tidak boleh diperangi, tetapi mereka harus didesak dan dipersulit di segala penjuru sehingga mereka terpaksa harus keluar dari tanah suci atau kembali taat.”
Adapun mengenai pelaksanaan hukum hadd, Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa hukum Hadd boleh dilaksanakan (sekalipun) di tanah Harom Makkah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi S’AW bersabda,
”Sesungguhnya, tanah Harom tidak melindungi orang yang berbuat maksiat dan orang yang lari (dari tempat lain untuk berlindung di Makkah) setelah membunuh atau melakukan pencurian.
Abu Hanifah berpendapat-yaitu sebuah riwayat dari Ahmad- bahwa ia aman selama berada di tanah Harom, tetapi harus didesak dan dipersulit agar ia keluar darinya. Setelah keluar darinya, baru dilaksanakan hukum hadd atau qishash terhadapnya. Dalil mereka ini adalah keumuman sabda Nabi S’AW dalam khotbah pada hari penaklukkan Makkah tersebut.
Az-Zarkasyi berkata, ”Jadi, faktor kekhususan ini untuk tanah Harom Makkah. Orang-orang kafir apabila berlindung selain di kota Makkah, mereka boleh diperangi dengan suatu peperangan yang umum dan menyeluruh dari segala penjuru dan dengan segala cara yang menjadi tuntutan kemaslahatan. Akan tetapi, seandainya mereka berlindung di tanah Makkah, mereka tidak boleh diperangi dengan cara tersebut.”

2.Larangan Berburu di dalamnya, hal ini telah ditetapkan dengan ijma berdasarkan sabda Rasulullah yang muttafaq ’alaih,
”Pepohonannya tidak boleh ditebang dan buruannya tidak boleh dikejar.”
Kalau mengejar saja tidak dibolehkan, apalagi membunuhnya. Jika seseorang menangkap buruannya, ia wajib melepaskannya, sedangkan jika mati di tangannya, ia harus membayar diat seperti orang yang sedang ihram. Dikecualikan dari keumuman binatang yang tidak boleh dibunuh ini lima jenis binatang yang disebut fawasiq: burung gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing liar. Para ulama mengqiaskan kepada lima jenis binatang ini, binatang-binatang lain yang mempunyai sifat sama (membahayakan), seperti ular dan binatang buas yang berbahaya.

3.Larangan Menebang Pepohonannya ...Dalilnya adalah sabda Rasulullah S’AW di atas, yakni menebang pohon-pohon yang ditumbuhkan Allah tanpa ditanam oleh manusia, selama pohon itu masih basah. Jadi, tidak diharamkan menebang pohon yang ditanam oleh manusia, sebagaimana tidak diharamkannya menyembelih binatang ternak, menggembalakan binatang ternak di padang rumputnya, dan menebang pohon-pohon atau kayu-kayunya yang sudah kering. Az-Zarkasyi meriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ahmad tentang larangan menggembalakan ternak di tanah Harom (Lihat I’lamus Sajid, Zarkasyi, hal 157)
Para jumhur mengecualikan dari keumuman tetumbuhan ini jenis tumbuhan yang berbahaya, sebagaimana qias dengan lima jenis binatang fawasiq yang dikecualikan Nabi S’AW di atas. Ini termasuk mengkhususkan nash dengan qias. (Lihat Dhawabithul Mashlahah fisy-Syar’iyah al-Islamiyah, al-Buthy, hlm 200)

4.Wajib Berihram pada Waktu Memasukinya, Barangsiapa yang bermaksud masuk Makkah-atau datang ke salah satu tempat tanah Harom, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi-dan ia termasuk orang yang sering mondar-mandir (keluar masuk) seperti pedagang, pencari kayu, dan pekerja, maka tidak dibolehkan memasukinya kecuali dengan berihram haji atau umrah.
Para ulama berselisih pendapat apakah tuntutan itu bersifat wajib atau sunnah? Yang masyhur menurut tiga imam serta difatwakan dalam Hanafiyah dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia adalah wajib, tetapi jumhur Syafi’iyah berpendapat sunnah.
Sebab timbulnya perbedaan ini ialah karena Nabi S’AW ketika memasuki Makkah pada Fat-hu Makkah tidak memakai pakaian ihram, sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim dan lainnya bahwa Nabi S’AW memasuki Makkah pada hari penaklukkannya dengan memakai sorban hitam dan tanpa ihram.
Para ulama yang mengatakan bahwa ihram itu sunnah berpegang dengan hadits ini, sementara para ulama mengatakan wajib beralasan bahwa Nabi S’AW memasukinya pada saat itu dalam keadaan khawatir akan pengkhianatan orang-orang yang melancarkan serangan terhadap dirinya. Hal semacam ini termasuk keadaan yang dapat mengecualikan keumuman wajibnya.

5.Haram Mengizinkan Non-Muslim Tinggal di dalamnya

6.Renungan tentang apa yang dilakukan Nabi S’AW di Ka’bah
a.Sholat di dalam Ka’bah
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi S’AW tidak mau masuk Ka’bah kecuali setelah semua berhala dan lukisan Ibrahim dan Isma’il dikeluarkan...Setelah semua berhala dikeluarkan, baru Nabi S’AW memasukinya kemudian takbir di seluruh penjurunya, tetapi tidak melakukan sholat.

b.Hukum Membuat Gambar (Lukisan) dan Memasangnya
Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi S’AW memerintahkan Umar R.’A., waktu itu di Bath-ha, agar datang ke Ka’bah lalu menghapuskan semua gambar (lukisan) yang ada di dalamnya. Nabi S’AW tidak memasukinya sebelum semua gambar itu dihapuskan. Bukhari juga meriwayatkan di dalam kitab ”Haji” dari Usamah bahwa Nabi S’AW memasuki Ka’bah kemudian melihat gambar (lukisan) Ibrahim lalu Nabi S’AW meminta air untuk menggosoknya sampai bersih. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi S’AW memerintahkan penghapusan semua lukisan yang ada di dinding, sebagaimana beliau juga memerintahkan dikeluarkannya semua patung yang ada di dalamnya. Tampaknya ketika masuk, beliau masih mendapatkan bekas-bekas lukisan itu di dinding Ka’bah sehingga beliau meminta air untuk membersihkannya secara tuntas. Ini secara jelas menunjukkan hukum Islam tentang foto dan gambar (lukisan) yang berbadan ataupun yang tidak berbadan. Berikut ini kutipan teks Imam Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim.
”Rekan-rekan kami dan lainnya dari para ulama berkata, ’Menggambar makhluk yang bernyawa sangat diharamkan. Ia termasuk dosa besar karena diancam dengan suatu ancaman yang sangat keras di beberapa hadits, baik dibuat dengan suatu bentuk yang menghinakannya maupun tidak. Membuat gambarnya dalam bentuk apa pun adalah haram karena mengandung unsur menyamai ciptaan Allah, baik di atas kain, tikar, dirham, dinar, bejana, dinding, maupun lainnya.’ ”
Adapun menggambar pohon atau pelana unta atau sejenisnya yang tidak berbentuk makhluk bernyawa tidak diharamkan.
Hukum memasang gambar makhluk yang bernyawa, jika diletakkan di dinding, pakaian, atau sorban, dan sebagainya di tempat yang ’mulia’, hal tersebut diharamkan. Jika diletakkan di tikar yang diinjak atau bantal dan sejenisnya, di tempat yang ’hina’, tidak diharamkan.
Tidak ada bedanya antara yang mempunyai bayangan atau tidak. Demikianlah penjelasan ringkas beberapa madzhab dalam masalah ini. Al-Qadhi berkata, ’Kecuali mainan ’boneka’ anak-anak; dalam soal ini adalah rukhshah.’ ”
Tentang hukum fotografi di masa sekarang, apakah sama dengan hukum gambar dan lukisan yang diolah oleh kepiawaian tangan atau memiliki hukum lain?
Sebagian mereka memahami sebab diharamkannya gambar yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kutipan di atas bahwa fotografi tidak sama hukumnya dengan lukisan tangan. Di dalam fotografi tidak terlihat faktor menyamai ciptaan Allah sebagaimana dalam lukisan tangan. Dengan menekan alat tertentu di dalam kamera telah dapat ditangkap bayangan di dalamnya. Suatu kerja yang sangat sederhana, bahkan bisa dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Sebenarnya kita tidak perlu mencari-cari apa perbedaan antara semua bentuk gambar tersebut jika kita mau bersikap hati-hati dan memperhatikan lafal hadits yang bersifat mutlak tersebut. Ini berkaitan menggambar. Adapun tentang memasangnya, tidak ada perbedaan antara fotografi dan lainnya.
Akan tetapi, jenis gambar yang hendak diambil juga memiliki pengaruh bagi hukum menggambar (melukis) dan memasangnya. Jika yang digambar itu termasuk yang diharamkan, seperti gambar wanita dan sejenisnya, ia diharamkan. Jika termasuk hal yang sangat diperlukan demi kemaslahatan, mungkin ada rukhshah di dalamnya. Wallahu a’lam.

c.Pemegang Kunci Ka’bah
Sesuai hadits, Nabi S’AW mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah seraya bersabda, ”Terimalah kunci ini untuk selamnya. Sesungguhnya, tidak seorang pun akan mencabutnya dari kalian – bani Abdud Dar dan bani Syaibah – kecuali seorang yang zhalim.”
Pada umumnya, ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut hak memegang kunci Ka’bah dan pengurusannya dari mereka hingga kiamat. Imam Nawawi berkata dengan mengutip perkataan al-Qadhi Iyadh, ”Hak itu telah diberikan Rasulullah S’AW kepada mereka dan akan tetap berlaku terus sepanjang masa sampai kepada anak keturunan mereka. Hak itu tidak boleh dirampas atau dikurangi dari mereka selama mereka tetap ada dan layak untuk itu.”
Sampai sekarang, hak itu masih tetap berada di tangan mereka sebagaimana wasiat Nabi S’AW.

d.Penghancuran berhala
Ini merupakan pemandangan indah dari pertolongan Allah dan dukungan-Nya Yang Sangat Agung kepada Rasul-Nya. Nabi S’AW menghancurkan tuhan-tuhan palsu di sekitar Ka’bah dengan tongkatnya seraya bersabda, ”Telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan. Telah datang kebenaran dan tidak akan datang lagi kebatilan.” Ibnu Ishaq dan lainnya meriwayatkan bahwa setiap berhala diremukkan bagian bawahnya kemudian ditegakkan di tanah, lalu Nabi S’AW memukulnya dengan tongkat, menghancurkan mukanya atau menjungkalkannya ke tanah! berhala-berhala itu dihancurkan oleh Nabi S’AW sebagaimana tiran Quraisy dihancurkan dan dihinakan oleh Allah sehingga seluruh Makkah tunduk kepada agama yang dibawa Nabi S’AW.

•Keenam: Renungan tentang Pidato Nabi S’AW pada Hari Penaklukan
Makkah, negeri yang pernah ditinggalkan Nabi S’AW selama delapan tahun, sekarang telah tunduk kepadanya dan beriman kepada risalah dan petunjuknya. Mereka yang pernah mengusir dan menyiksanya kini berhimpun di sekitarnya dengan penuh khusyuk dan penantian. Apakah kiranya yang akan diucapkannya pada hari ini?
Pertama, beliau harus memulainya dengan memanjatkan puji kepada Allah yang telah Menolong, Mendukung, dan menepati janji kepadanya. Demikianlah beliau membuka khotbahnya, ”Tiada Ilah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dia telah Menepati janji-Nya, Membela hamba-Nya, dan Mengalahkan musuh-musuh sendirian.”
Selanjutnya beliau harus mengumumkan di hadapan Quraisy dan seluruh umat manusia tentang masyarakat baru dan syiarnya yang tertuang dalam firman Allah,
”Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (al-Hujurat [49]: 13)
Dengan demikian, semua sisa tradisi dan ajaran jahiliyah, seperti kebanggaan terhadap nenek moyang dan kabilah, harus dikuburkan di bawah telapak kaki kaum Muslimin. Semua berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.
Sejak itulah jahiliyah Quraisy telah dikuburkan bersama dengan seluruh tradisi dan ajarannya yang busuk di “kuburan masa lalu”. Quraisy harus mencuci sisa-sisa “daki”-nya untuk bergabung dan berjalan bersama-sama dengan kafilah baru karena tidak lama lagi akan memasuki singgasana pusat peradaban yang memancarkan kebahagiaan ke seluruh penjuru dunia dan bagi semua umat manusia.
Demikianlah, pada detik-detik itu, sisa-sisa kehidupan jahiliyah telah dikuburkan dan Quraisy pun berbaiat kepada Rasulullah S’AW menyatakan sumpah setianya untuk membela Islam, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘ajam kecuali taqwa, tidak ada kebanggaan kecuali kebanggaan terhadap Islam dan komitmen kepada aturan-aturannya. Atas dasar baiat inilah Allah menyerahkan kendali dunia kepada mereka.
Akan tetapi, aneh bin ajaib, bangkai busuk yang telah tertimbun semenjak empat belas abad yang lampau itu kini hendak dibongkar oleh orang-orang tertentu.

•Ketujuh: Baiat Kaum Wanita dan Hukum-hukum yang Berkaitan dengannya
Pertama, kaum wanita ikut serta atas dasar persamaan sepenuhnya bersama kaum lelaki dan semua tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap Muslim. Karena itu, seorang khalifah atau penguasa Muslim harus mengambil dari kaum wanita baiat untuk bekerja menegakkan masyarakat Islam dengan segala sarana yang dibenarkan, sebagaimana ia mengambil baiat yang sama dari kaum lelaki. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini.
Karena itu, kaum wanita berkewajiban mempelajari urusan agamanya sebagaimana kaum lelaki. Mereka harus menempuh segala sarana yang mempersenjatai diri dengan senjata ilmu, kesadaran, dan kewaspadaan terhadap segala tipu daya musuh-musuh Islam yang senantiasa membuat makar jahat, sehingga mereka dapat menunaikan baiat yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, kaum wanita tidak akan dapat melaksanakan hal ini jika mereka tidak mengetahui hakikat agamanya dan tidak memahami permainan tipu daya musuh-musuh Islam yang ada di sekelilingnya.
Kedua, dari pembaiatan Nabi S’AW kepada kaum wanita tersebut, kita tahu bahwa baiat mereka adalah dengan ucapan saja tanpa jabat tangan. Tidak sebagaimana baiat kaum lelaki. Ini menunjukkan bahwa lelaki tidak boleh menyentuh kulit wanita “asing”. Saya tidak mengetahui adanya ulama yang membolehkannya kecuali jika dalam keadaan darurat seperti pengobatan, cabut gigi, dan sebagainya.
Tersebar luasnya tradisi berjabat tangan antara lelaki dan wanita asing bukan termasuk darurat, sebagaimana anggapan sebagian orang. Hal ini karena tradisi tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’ an atau Sunnah kecuali hukum yang pada asalnya lahir didasarkan kepada tradisi yang berlaku umum. Jika tradisi itu berubah, perubahan itu akan mempengaruhi hukum bersayarat yang terkait dengan keadaan tertentu.
Ketiga, hadits-hadits baiat menunjukkan bahwa dalam keadaan diperlukan, orang lelaki boleh mendengar pembicaraan wanita asing dan bahwa suara wanita itu bukan aurat. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha di antaranya Syafi’iyah. Sebagian Hanafiah berpendapat bahwa suaranya adalah aurat bagi lelaki asing. Akan tetapi, pendapat mereka ini terbantah dengan hadits-hadits shahih mengenai baiat kaum wanita ini.

•Kedelapan: Apakah Makkah Ditaklukkan secara Damai atau dengan Kekuatan?
Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat. Syafi’i, Ahmad, dan lainnya berpendapat bahwa Nabi S’AW memasukinya secara damai. Wakil dari Quraisy dalam perdamaian ini adalah Abu Sufyan, dengan suatu kesepakatan dan syarat: barangsiapa menutup pintu rumahnya maka ia selamat; barangsiapa masuk Islam maka ia selamat; dan barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan maka Ia selamat kecuali enam orang.
Sementara itu, Abu Hanifah dan malik berpendapat bahwa Nabi S’AW memasukinya dengan kekuatan. Mereka berdalil dengan cara yang ditempuh kaum Muslimin dalam memasuki kota Makkah, yaitu dengan membawa senjata dan persiapan perang.

Akan tetapi, semuanya sepakat bahwa Nabi S’AW tidak menjarah harta sebagai rampasan perang dan tidak menjadikan penduduknya sebagai tawanan perang. Alasan mereka yang beranggapan bahwa Makkah ditaklukan secara damai sudah sangat jelas. Adapun mereka yang menilai Makkah ditaklukan dengan kekuatan mengemukakan alasan bahwa hal yang menghalangi Nabi S’AW untuk membagi barang jarahannya adalah kekhususan Quraisy sebagai negeri peribadahan dan tanah suci, seolah-olah ia waqaf dari Allah kepada seluruh alam. Karena itu, sebagian ulama, di antaranya Abu Hanifah, mengharamkan penjualan tanah dan rumah-rumah Makkah. (Lihat al-Ahkamus Sulthaniah, hlm. 164 dan Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/174.)

IBROH SIROH NABAWIYAH (Part 4)

Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

FAT-HU MAKKAH (Periode Baru dalam Dakwah)

Perdamaian Hudaibiyah
Perdamaian ini merupakan salah satu bentuk tadbir Ilahi (rekayasa Ilahi) untuk menampakkan tindakan kenabian dan pengaruhnya. Kesuksesan perdamaian ini merupakan rahasia yang berkait erat dengan perkara ghaib yang tersimpan dalam pengetahuan 4wl semata. Hikmah yang tampak secara jelas bahwa perdamaian Hudaibiyah ini merupakan pintu dan kunci bagi penaklukan kota Makkah. Apabila 4wl Menghendaki terjadinya satu perkara besar, Dia senantiasa memperlihatkan beberapa “muqaddimah”-nya terlebih dahulu sebagai isyarat kepadanya. Kaum Muslimin pada saat itu tidak memahami isyarat tersebut karena masalah ini termasuk masa depan yang ghaib bagi mereka. Tapi tak lama kemudian, kaum muslimin merasakan urgensi perdamaian ini dan sejumlah kebaikan yang terkandung di dalamnya. Dengan perdamaian ini, setiap orang merasa aman dari gangguan orang lain. Kaum muslimin dapat lebih leluasa bergaul dengan orang-orang kafir guna menyampaikan dakwah Islam dan memperdengarkan ayat-ayat al-Quran kepada mereka. Bahkan orang-orang yang tadinya menyembunyikan keislamannya, dengan perdamaian ini, mereka berani memunculkannya. Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari az-Zuhri, ia berkata, “Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam penaklukan (futuh) yang lebih besar dari Perdamaian Hudaibiyah. Sebelumnya selalu dicapai melalui peperangan. Perjanjian Hudaibiyah ini telah berhasil menghindarkan peperangan dan memberikan keamanan kepada manusia sehingga mereka bisa melakukan dialog dan perundingan. Selama masa perdamaian ini, tak seorang pun yang berakal sehat yang diajak bicara tentang Islam kecuali segera masuk Islam. Selama dua tahun tersebut, orang-orang yang masuk Islam sebanyak jumlah orang-orang Islam sebelum peristiwa tersebut atau mungkin lebih banyak. Karena itu al-Quran menyebut peristiwa ini dengan istilah fat-h (kemenangan). Firman 4wl:
“Sesungguhnya, 4wl akan Membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya 4wl dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedangkan kamu tidak merasa takut. Maka 4wl Mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia Memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (al-Fat-h [48]:27)

Hikmah lainnya ialah bahwa 4wl SWT, dengan perdamaian tersebut, ingin menampakkan perbedaan yang sangat jelas antara wahyu kenabian dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan (taufiq) Nabi yang diutus dan tindakan seorang pemikir jenius, antara ilham Ilahi yang datang dari luar alam sebab akibat. Allah ingin Memenangkan nubuwwat Nabi-Nya, Muhammad SAW, di hadapan penglihatan setiap orang yang cerdas dan berpikiran mendalam. Barangkali ini merupakan sebagian dari penafsiran firman 4wl SWT, ‘Dan supaya Allah Menolongmu dengan pertolongan yang kuat.’ (al-Fat-h [48]:3). Maksudnya, pertolongan yang unik caranya sehingga akan menyentakkan akal-akal yang lalai dan pikiran yang tertutup.

Karena itu, Nabi S’AW memberikan semua persyaratan yang diminta kaum musyrikin. Nabi S’AW menyetujui beberapa perkara yang menurut para sahabat kurang menguntungkan. Tergambar bagaimana Umar R.’A. merasa cemas dan bersempit dada menanggapi masalah tersebut, sampai di kemudian hari Umar R.’A berkata tentang dirinya-sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan lainnya,
‘Aku terus berpuasa, sholat, bersedekah, dan membebaskan budak (sebagai kafarat) dari apa yang pernah aku lakukan karena takut akan ucapanku yang pernah aku ucapkan pada hari itu.’

Dapat kita ketahui bagaimana rasa sedih campur enggan melanda para sahabat ketika diperintahkan Rasulullah S’AW agar mencukur rambut dan menyembelih binatang qurban untuk kembali ke Madinah, sampai Rasulullah S’AW mengulangi perintah tersebut tiga kali. Sebabnya ialah para sahabat R.’A waktu itu mengamati dan menganalisis tindakan-tindakan Nabi S’AW dalam kapasitas mereka sebagai manusia biasa dan didasarkan kepada pengalaman-pengalaman empiris. Sementara itu, Nabi S’AW dalam mengambil tindakan-tindakan berpijak di atas pijakan kenabian (perintah Ilahi). Hal ini tampak jelas dari jawaban Nabi S’AW kepada Umar R.’A ketika mendatangi Nabi S’AW untuk menanyakan atau meragukan tindakan tersebut. Nabi S’AW menjawab kepada Umar R.’A,
‘Sesungguhnya, aku adalah Rasul Allah. Aku tidak menyalahi-Nya dan Dia pasti akan Membelaku.’

Hukum-hukum yang berkaitan dengan Perdamaian Hudaibiyah
1.Meminta Bantuan kepada non-muslim bukan dalam keadaan perang.
Nabi S’AW pernah mengutus Basyar bin Sufyan sebagai ”intel” untuk mencari berita tentang Quraisy. Waktu itu, Basyar bin sufyan adalah seorang musyrik dari kabilah Khuza’ah. Hal ini menunjukkan bahwa meminta bantuan kepada non-muslim itu tergantung kepada kondisi dan situasi orang yang dimintai bantuannya. Jika tidak dapat dipercaya, kita tidak boleh meminta bantuannya. Yang pernah dilakukan Nabi S’AW ialah meminta bantuan non-muslim bukan dalam keadaan perang, seperti pengiriman intel ke dalam barisan musuh, untuk meminjam senjata dari mereka, dan sebagainya. Tampaknya, meminta bantuan non-muslim dalam masalah perdamaian juga dibolehkan, di antaranya dalam tugas-tugas pertempuran dan peperangan.

2.Tabiat Syura dalam Islam
Dalam perdamaian Hudaibiyah ini, Nabi S’AW meminta pandangan para sahabatnya kemudian Abu Bakar pun mengemukakan pandangannya. Ia berkata kepada Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, engkau, wahai Rasul Allah, keluar hendak melaksanakan thawaf di Ka’bah. Berangkat saja! Siapa yang menghalangi maka kita akan perangi.”
Pada mulanya, Rasulullah S’AW menyetujui pendapat Abu Bakar ini kemudian bersama-sama para sahabatnya menuju Makkah sampai unta beliau mogok pertanda tidak boleh terus. Nabi S’AW lalu meninggalkan pendapat yang telah dikemukakan Abu Bakar R.’A seraya mengumumkan,
”Demi Allah. Jika mereka meminta kepadaku suatu langkah (persyaratan) yang akan menghormati Tanah Haram, pasti aku kabulkan.”
Sejak itulah, pandangan yang dikemukakan Abu Bakar R.’A ditinggalkan dan beralih kepada masalah perdamaian dan menyetujui persyaratan-persyaratan kaum musyrikin tanpa meminta pandangan siapa pun dalam hal ini, bahkan tanpa mempedulikan berbagai keberatan yang dilontarkan oleh sebagian sahabat.
Ini berarti masalah syura harus tunduk kepada hukum wahyu yang sekarang adalah berupa al-Quran, as-sunnah, dan ijma’ para imam. Ia juga menunjukkan bahwa syura itu disyariatkan hanya untuk mendapatkan pandangan, bukan untuk voting suara.

3.Tabarruk dengan Bekas Pakai Nabi S’AW
Urwah bin Mas’ud memandangi para sahabat Nabi S’AW dengan kedua matanya seraya berkata, ”Demi Allah, tidaklah Rasulullah meludah kecuali ludah itu jatuh ke telapak tangan seseorang di antara mereka lalu mengusapkan ke muka dan kulit mereka. Apabila dia (Nabi S’AW) memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka berebut untuk melakukannya. Apabila dia berwudhu, mereka berebut untuk mendapatkan sisa air wudhunya. Apabila mereka berbicara di hadapannya, mereka berbicara dengan menundukkan kepala dan merendahkan suaranya demi menghormatinya.
Itu adalah gambaran hidup dari Urwah bin Mas’ud tentang sejauh mana cinta para sahabat kepada Rasulullah S’AW. Ia mengandung sejumlah pelajaran penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim.
Pertama, ini menunjukkan bahwa tidak mungkin beriman kepada Rasulullah S’AW tanpa mencintainya. Cinta kepadanya bukan sekedar dalam pikiran, melainkan cinta yang memberikan kesan mendalam di dalam hati sehingga membentuk kepribadiannya, seperti yang digambarkan oleh Urwah bin Mas’ud tentang para sahabat Rasulullah S’AW.
Kedua, menunjukkan bahwa tabarruk dengan benda-benda bekas pakai Nabi S’AW adalah perkara yang disyariatkan. Di dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa para sahabat pernah tabarruk dengan rambut, keringat, sisa air wudhu, dan ludah Nabi S’AW.

4.Hukum Berdiri terhadap Orang yang Duduk
Mughirah bin Syu’bah mengawal Rasulullah S’AW dengan membawa pedang. Setiap kali Urwah bin Mas’ud ingin memegang jenggot Rasulullah S’AW, ia menepisnya dengan gagang pedangnya seraya berkata, ”Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah S’AW sebelum kutampar mukamu.
Dalam bahasan tentang perang bani Quraizhah, telah disebutkan bahwa berdiri kepada orang yang duduk adalah dilarang karena hal itu termasuk bentuk takzim (penghormatan) yang dipraktikkan oleh orang-orang asing dan diingkari Islam. Ia termasuk tamatstsul (cara penghormatan) yang dilarang Nabi S’AW, ”Barangsiapa ingin dihormati orang dengan berdiri maka hendaklah ia mempersiakan tempat duduknya di neraka.”
Adakah kontradiksi dalam masalah ini?
Jawabannya bahwa larangan secara umum itu dikecualikan dalam kondisi khusus. Dalam kondisi kedatangan utusan para musuh kepada seorang imam atau khalifah, tidak dilarang bila seorang pengawal atau seorang prajurit berdiri guna menampakkan izzah Islamiyah, kemuliaan sang Imam, dan melindunginya dari segala kejahatan yang mungkin akan dilancarkan kepadanya secara tiba-tiba. Apabila dalam kondisi biasa, hal itu dilarang karena bertentangan dengan konsekuensi tauhid dan aqidah Islamiyah. Hal ini sama dengan masalah cara jalan Abu Dujanah dalam Perang Uhud. Semua bentuk kesombongan dan keangkuhan dalam cara berjalan terlarang secara syariat, tetapi khusus dalam kondisi peperangan, hal itu diperbolehkan, sebagaimana penegasan Nabi S’AW tentang cara berjalan Abu Dujanah, ”Itu adalah cara berjalan yang dimurkai Allah kecuali di tempat ini.”

5.Disyariatkan Perjanjian Damai antara Kaum Muslimin dan Musuh Mereka
Para Ulama dan Imam menjadikan Perdamaian Hudaibiyah ini sebagai dalil bolehnya mengadakan perjanjian damai antara kaum Muslimin dan musuh mereka selama waktu tertentu, baik dengan ada ganti rugi yang diambil oleh kaum muslimin maupun tidak. Sebab dalam Perdamaian Hudaibiyah ini, kaum Muslimin tidak mendapatkan ganti rugi. Jika tanpa ganti rugi saja dibolehkan, apalagi dengan adanya ganti rugi yang diperoleh oleh kaum Muslimin.
Namun jika perdamaian itu mengharuskan kaum muslimin membayar harta, menurut jumhur tidak dibolehkan karena hal itu merendahkan martabat kaum muslimin di hadapan musuh; di samping karena tidak adanya dalil al-Quran dan as-Sunnah yang membolehkannya. Para ulama berkata, ”Kecuali dalam keadaan sangat darurat dan tidak ada jalan lain, seperti dikhawatirkan kaum Muslimin akan binasa atau jatuh menjadi tawanan, sebagaimana seorang yang ditawan boleh menebus dirinya dengan harta.”

6.Imam Syafi’i, Ahmad, dan sejumlah Imam yang lainnya berpendapat bahwa perjanjian damai harus dibatasi jangka waktunya dan tidak boleh lebih dari satu tahun; karena selama masa sepuluh tahun itulah Nabi S’AW mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah.

7.Syarat dalam mengadakan perjanjian damai ada yang sah dan ada pula yang batil. Syarat yang sah ialah setiap syarat yang tidak bertentangan dengan nash al-Quran atau sunnah Nabi-Nya. Misalnya, mensyaratkan agar pihak musuh membayar harta atau mensyaratkan kepada pihak musuh agar mengembalikan orang-orang muslim yang datang kepada mereka atau menjamin keamanannya. Para Imam menyepakati keabsahan syarat yang terakhir ini kecuali Imam Syafi’i yang mempersyaratkan adanya keluarga yang melindunginya di antara kaum kafir. Sebab, menurut Imam Syafi’i, Nabi S’AW menyetujui persyaratan Quraisy itu dengan catatan tersebut.
Syarat yang batil adalah setiap persyaratan yang bertentangan dengan hukum syariat yang ada, misalnya mempersyaratkan pengembalian wanita-wanita Muslimat atau mahar-maharnya kepada mereka (musuh) atau memberikan sebagian senjata atau harta kaum muslimin kepada mereka. Hal ini didasarkan kepada sikap nabi S’AW yang tidak mau mengembalikan wanita-wanita Muslimat yang lari membawa agamanya. Al-Qur’an bahkan secara tegas melarang hal tersebut.
Apakah dengan demikian tidak berarti Rasulullah mengingkari janjinya sendiri? Bukankah Nabi S’AW telah menyepakati untuk mengembalikan setiap Muslim yang datang dari Makkah? Jawabannya bahwa dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan secara eksplisit termasuk kaum wanita, bahkan ada kemungkinan hanya berlaku untuk kaum lelaki. Kita pun tahu bahwa tindakan-tindakan Nabi S’AW tidak memiliki kekuatan hukum syar’i kecuali setelah ”dilegalisasi” oleh al-Qur’an dengan mendiamkannya atau mempertegasnya. Ternyata dalam masalah ini, al-Qur’an telah mengakui semua butir perjanjian damai kecuali yang berkaitan dengan pengembalian wanita (muslimat) ke negeri kafir-ini pun seandainya hal tersebut dimasukkan dalam butir-butir kesepakatan dan persyaratannya.

8.Hukum Ihshar (Membatalkan) Penunaian Haji dan Umrah
Amalan Rasulullah berupa tahallul, menyembelih qurban, dan bercukur, setelah menyelesaikan urusan perjanjian damai, menunjukkan bahwa orang yang muhshar (membatalkan haji karena suatu halangan) dibolehkan tahallul dengan menyembelih kambing di tempat pembatalannya dan mencukur rambut kemudian berniat tahallul, baik dari haji maupun umrah.
Amalan Rasulullah S’AW tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang bertahallul tidak diwajibkan meng-qadha’ haji atau umrah apabila merupakan haji atau umrah sunnah. Hal ini karena Nabi S’AW tidak pernah memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk meng-qadha’ setelah itu. Ketika Rasulullah S’AW melakukan umrah pada tahun berikutnya, tidak semua orang yang keluar pada tahun Hudaibiyah ini ikut umrah bersama Nabi S’AW.



Perang Khaibar
Para Ulama telah menyimpulkan beberapa pelajaran dan hukum dari peperangan Khaibar ini, di antaranya sebagai berikut:

1.Boleh menyerang orang yang telah memperoleh dakwah Islam dan hakikatnya, tanpa peringatan terlebih dahulu atau dakwah lagi. Ini adalah mazdhab Syafi’i dan jumhur fuqaha. Itulah yang dilakukan Nabi S’AW dalam serbuannya terhadap Khaibar. Sampainya dakwah Islam dan dipahaminya Islam secara benar merupakan syarat yang disepakati para ulama.

2.Pembagian Ghanimah berdasarkan Hadits yang disebutkan di sini, yaitu pembagian empat per lima kepada mereka yang berperang satu saham bagi yang berjalan kaki dan tiga saham bagi yang menunggang kuda; satu saham untuk dirinya dan dua saham untuk kudanya. Sementara itu, sisa khumus (seperlimanya) dibagikan kepada mereka yang ditegaskan oleh ayat,
”Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil...” (al Anfal [8]:41)

Saham Rasulullah S’AW dari khumus ini dibagikan, sepeninggal beliau, kepada kemaslahatan kaum Muslimin sebagaimana pendapat Syafi’iyah dan Hanafiah. Ada juga yang berpendapat, diserahkan kepada khalifah pemanfaatan dan pendistribusiannya. Kedua pendapat ini hampir sama.

3.Boleh memberikan ghanimah kepada orang-orang yang tidak ikut berperang, tetapi hadir di tempat peperangan. Tentunya hal itu dilakukan sesudah meminta izin kepada yang memiliki hak. Nabi S’AW telah memberikan ghanimah kepada Ja’far dan orang-orang yang datang bersamanya, dengan izin dari para sahabat, ketika mereka datang dari Habasyah dan Yaman.

4.Disyariatkannya ’Aqdul Musaqat
Yaitu seorang pemilik tanah menyerahkan pengelolaan kebunnya kepada orang lain dengan perjanjian bagi hasil. Malik, Syafi’i, dan Ahmad menganggap akad ini sah berdasarkan perlakuan Nabi S’AW terhadap penduduk Khaibar. Akan tetapi Abu hanifah tidak membolehkannya

5.Boleh mencium dan merangkul orang yang baru datang.

6.Haramnya Riba Kelebihan dalam Pertukaran makanan (pokok), yaitu dua orang saling bertukar makanan dari jenis yang sama dengan adanya kelebihan (timbangan).

Dalam peperangan ini terjadi dua peristiwa, keduanya disebutkan oleh hadits shahih yang merupakan peristiwa luar biasa yang dijadikan Allah sebagai dukungan kepada Nabi Muhammad S’AW. Pertama, Nabi S’AW mengobati mata Ali R.’A dengan meludahinya kemudian seketika itu juga kedua mata Ali R.’A sembuh. Kedua, Allah Memberikan wahyu kepadanya tentang kambing beracun pada saat beliau hendak memakannya. Karena qadha 4wl jualah Basyar bin Barra’ menelan suapannya sebelum Rasulullah S’AW menyatakan bahwa itu beracun. Para perawi berselisih pendapat apakah wanita yahudi yang meracuni daging kambing tersebut (Zainab binti al-Harits, istri Sallam bin Misykan) masuk Islam atau tidak. Riwayat yang lebih kuat seperti yang dipastikan oleh az-Zuhri dan lainnya menegaskan bahwa wanita itu kemudian masuk Islam. Karena itu, Nabi S’AW tidak membunuhnya sebagaimana ditegaskan oleh Riwayat Muslim. Tidak boleh dikatakan bahwa hukum qishash mengharuskan dibunuhnya wanita tersebut, sebab kaidah yang disepakati menegaskan, ”Islam menghapus apa yang sebelumnya.” pembunuhan yang harus diqishash adalah pembunuhan yang terjadi setelah Islamnya si pembunuh itu. Adapun sebelum keislamannya, masalah itu dikategorikan kepada masalah hirabah (peperangan). Seperti diketahui bahwa hirabah akan berakhir dengan masuknya seseorang tersebut ke dalam Islam. Orang-orang yahudi khaibar itu kemudian diizinkan tinggal di khaibar sambil menggarap tanah khaibar dengan system bagi hasil (paron) sampai masa khilafah Umar Radhiyallahu’anhu. Karena mereka membunuh salah seorang Anshor dan melukai kedua tangan Abdullah bin Umar. Khalifah Umar mengumumkan keputusan pengusiran mereka. Katanya,
”Sesungguhnya, Rasulullah S’AW dahulu memperlakukan orang-orang yahudi dengan syarat kita boleh mengusir mereka jika kita menghendaki hal itu. Sesungguhnya, mereka telah menyerang Abdullah bin Umar dan melukai kedua tangannya, sebagaimana kalian dengar. Sebelum itu, mereka juga telah menyerang seorang Anshar. Kami tidak meragukan bahwa yang berbuat kejahatan itu adalah teman-teman mereka sebab di sana tidak ada musuh selain mereka (yahudi khaibar). Karena itu, barangsiapa di antara kalian mempunyai titipan harta di khaibar hendaklah segera dibereskan. Aku akan mengusir orang-orang yahudi itu.

Demikianlah akhirnya mereka diusir dari Jazirah Arabia. Kalau bukan karena kejahatan dan kesombongan mereka sendiri, niscaya mereka tidak akan diusir. Akan tetapi bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Kemenangan pada akhirnya berada di tangan orang-orang yang bertaqwa.

IBROH SIROH NABAWIYAH (Part 3)

Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

ASAS MASYARAKAT BARU

1.Asas Pertama: Pembinaan Masjid
Hijrah Rasulullah S’AW ke Yatsrib yang kemudian bernama Madinah merupakan langkah awal proses terbentuknya Darul Islam yang pertama di muka bumi saat itu, di samping juga merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam di bawah pimpinan pendirinya yang pertama, Muhammad S’AW. Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan oleh Rasulullah S’AW ialah meletakkan asas-asas penting bagi Negara ini. Asas-asas tersebut tercermin pada tiga pekerjaan berikut:
1)Pembangunan Masjid

2)Mempersaudarakan sesama kaum Muslimin secara umum serta antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor secara khusus.

3)Membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama kaum Muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang di luar Islam secara umum dan dengan kaum yahudi secara khusus.

•Urgensi masjid dalam masyarakat dan Negara Islam
Masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwwah dan mahabbah sesama kaum muslimin. Akan tetapi, tersebarnya ikatan ini tidak akan terjadi kecuali di dalam masjid. Selama kaum muslimin tidak bertemu setiap hari berkali-kali, di rumah-rumah 4wl SWT, sampai terhapusnya perbedaan-perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan, serta status dan atribut sosial lainnya, selama itu pula tidak akan terbentuk persatuan dan persaudaraan sesama mereka. Semangat persamaan dan keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan selama kaum Muslimin tidak bertemu setiap hari dalam satu shaf di hadapan 4wl seraya bersama-sama berdiri dengan satu tujuan yaitu semata-mata menghambakan diri kepada-Nya. Selama belum berdiri masjid-masjid, tempat kaum muslimin berkumpul untuk mempelajari hukum dan syariat 4wl agar dapat berpegang teguh kepadanya secara sadar di seluruh penjuru dan lapisan masyarakat, selama itu pula kaum muslimin akan tetap terpecah belah.

•Hukum Perlakuan terhadap Anak Kecil dan Anak Yatim yang Belum Dewasa

Sebagian fuqaha dari madzhab Hanafiah menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi keabsahan tindakan yang diambil oleh anak-anak yang belum dewasa (baligh). Argumentasinya bahwa Nabi S’AW membeli kebun dari dua anak yatim setelah dilakukan tawar-menawar. Seandainya tindakan kedua anak itu tidak sah, tentu Nabi S’AW tidak akan membeli kebun tersebut. Mengenai hadits ”pembelian kebun” di atas,dapat dibantah dengan dua hal. Pertama, dalam riwayat Ibnu Uyainah disebutkan bahwa Nabi S’AW membicarakan masalah tersebut dengan paman kedua anak itu. Jadi, Rasulullah S’AW membeli kebun kedua anak yatim itu dengan perantaraan sang paman yang jadi penanggung jawab kedua anak tersebut. Dengan demikian, pendapat Hanafiah tidak dapat diterima. Kedua, Nabi S’AW memiliki wilayah (perwalian/otoritas) khusus dalam urusan seperti ini. Nabi S’AW membeli tanah dari kedua anak yatim tersebut selaku wali umum bagi semua kaum Muslimin, bukan selaku individu di dalam masyarakat Muslimin.

Firman 4wl SWT:
”Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (al-An’am [6]: 152)

•Pembolehan Memindahkan Kuburan Usang dan Menjadikannya sebagai Masjid

Jika tanah yang bercampur dengan darah dan daging mayat telah dibersihkan, dibolehkan sholat di atas tanah tersebut atau menjadikannya sebagai masjid. Hadits ini juga menunjukkan bahwa tanah kuburan yang sudah usang boleh dijual dan tetap menjadi harta pemiliknya serta merupakan harta warisan bagi para ahli warisnya selama belum diwakafkan. Para ulama sirah menegaskan bahwa kuburan yang ada di kebun tersebut adalah kuburan lama yang sudah usang sehingga tidak mungkin masih ada darah dan nanah mayat yang tertinggal. Sekalipun demikian, tetap diperintahkan agar digali dan dibersihkan semua sisa yang ada.

•Hukum Memugar Masjid, Menghias, dan Mengukir Dindingnya

Semua ulama membolehkan bahkan menganjurkan pemugaran masjid berdasarkan apa yang dilakukan Umar R.’A dan Utsman R.’A yang telah membangun ulang masjid Nabi S’AW.

”Hanyalah orang yang memakmurkan masjid-masjid 4wl ialah orang-orang yang beriman kepada 4wl dan hari kemudian...”(at-Taubah [9]: 18)

Pemakmuran ini di antaranya dengan jalan pemugaran dan pemeliharaan bangunannya.

Berkaitan dengan masalah ukiran dan hiasan (seperti membuat ornamen, relief, menulis, ataupun menggantungkan hiasan pada dinding) masjid, para umumnya memakruhkannya, bahkan sebagian ulama ada yang mengharamkan. Masalah pemugaran, tidak berkaitan dengan sifat atau tujuan yang dapat merusak hikmah pensyariatan pembangunan masjid. Adapun menghiasinya, ada pendapat yang tegas mengharamkannya karena dapat merusak kekhusyukan orang yang sholat atau mengingatkan orang kepada bentuk-bentuk kemegahan duniawi, padahal tujuan memasuki masjid di antaranya ialah ingin menjauhkan pikiran dari segala bentuk ketertambatan pada kemegahan dan perhiasan duniawi. Inilah yang diperintahkan oleh Umar R.’A ketika dia memerintahkan pembangunan masjid. Katanya, ”Lindungilah orang-orang dari tempias hujan. Janganlah kamu mewarnai (dinding masjid) dengan warna merah atau kuning sehingga dapat menimbulkan fitnah.”

2.Asas Kedua: Ukhuwah Sesama Kaum Muslimin
•Negara mana pun tidak akan berarti dan tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan umatnya. Sementara itu, kesatuan dan dukungan tidak akan lahir tanpa adanya saling bersaudara dan mencintai. Persaudaraan harus didahului oleh aqidah.
•Jaminan alamiah bagi terlaksananya keadilan terdapat pada persaudaraan dan kasih sayang.
•Nilai yang menyertai syiar persaudaraan. Rasulullah S’AW menjadikan ukhuwah ini sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara bersama. Karena itu pula 4wl SWT menjadikan hak waris berdasarkan ukhuwah ini, tanpa ikatan keluarga dan kerabat. Di antara hikmah pensyariatan ini ialah untuk menampakkan ukhuwah Islamiyah sebagai hakikat yang dirasakan secara nyata. Juga supaya diketahui dan disadari bahwa ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama Muslim bukan sekadar slogan yang diucapkan, melainkan lebih dari itu merupakan suatu kewajiban yang memiliki berbagai konsekuensi sosial. Menyangkut hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan ukhuwah ini, ternyata sistem pembagian warisan yang pada akhirnya ditetapkan pun tidak jauh berbeda. Karena sistem pembagian warisan yang secara final ditetapkan juga didasarkan pada hukum ukhuwah Islamiyah, yakni orang yang berlainan agama tidak boleh saling mewarisi.

3.Asas Ketiga: Perjanjian Antara Kaum Muslimin dan Orang-orang di Luar Islam

Beberapa Ibroh:
•Dustur (undang-undang dasar) yang dibuat oleh Rasulullah S’AW berdasarkan wahyu 4wl SWT dan ditulis oleh para sahabatnya kemudian dijadikan sebagai UUD yang disepakati oleh kaum Muslimin dan tetangganya (yahudi), merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Islam-sejak awal pertumbuhannya-tegak berdasarkan asas perundang-undangan yang sempurna. Hal ini juga menjadi bukti bahwa negara Islam-sejak awal berdirinya-telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan setiap negara mana pun. Dari sini, tertolaklah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya, tidak mengatur urusan negara dan sistem perundang-undangan. Dalam menganalisis pasal-pasal perjanjian Madinah, harus dikatakan bahwa kelahiran masyarakat Islam itu sendiri termuat dalam kerangka struktural negara. Hukum-hukum syariat setelah itu tidak diturunkan kecuali dalam kerangka struktur sosial yang saling menyempurnakan dari segala aspeknya.

•Perjanjian tersebut menunjukkan keadilan perilaku Nabi S’AW terhadap orang-orang yahudi. Perjanjian damai yang adil antara kaum Muslimin dan yahudi ini semestinya membuahkan hasil yang konkret seandainya tidak dirusak oleh tabiat kaum yahudi yang suka menipu dan berkhianat, tidak ada pilihan lain bagi kaum Muslimin kecuali harus mengembalikan perjanjian itu kepada mereka. karena itu perjanjian ini tidak berlangsung lama.

Perjanjian tersebut menunjukkan beberapa hukum yang sangat penting dalam syariat Islam, sbb:

1)Pasal pertama menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum Muslimin dan menjadikan mereka satu umat.

2)Pasal kedua dan ketiga menunjukkan bahwa di antara ciri khas terpenting dari masyarakat Islam ialah tumbuhnya nilai solidaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan antarkaum Muslimin. Setiap orang bertanggung jawab kepada yang lainnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat

3)Pasal keenam menunjukkan betapa dalamnya asas persamaan kaum Muslimin. Ia bukan hanya slogan yang diucapkan, melainkan merupakan salah satu rukun syariat yang terpenting bagi masyarakat Islam yang harus diterapkan secara detil dan sempurna. Jaminan seorang Muslim, siapa pun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan. Demikian pula halnya wanita Muslimah, tidak berbeda kaum lelaki. Suaka atau jaminannya pun harus dihormati oleh semua orang. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan bahwa Ummu Hani binti Abu Thalib pergi menemui Rasulullah S’AW pada hari Fat-hu Makkah, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah, adikku menuntut untuk membunuh seorang lelaki yang ada dalam perlindunganku, yaitu Ibnu Hubairah. ”Rasulullah S’AW menjawab, ”Kami telah melindungi orang yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani.”
Persamaan yang diteriakkan oleh Islam adalah persamaan yang didasarkan kepada fitrah manusia yang memberikan dan menjamin kebahagiaan kepada semua orang. Baik lelaki maupun wanita, baik secara individual maupun sosial. Sementara itu, persamaan yang diserukan oleh pengagum peradaban modern adalah persamaan yang didorong oleh nafsu kebinatangan yang ingin menjadikan wanita sebagai sarana hiburan dan pemuas nafsu kaum lelaki, tanpa mau memandang kepada hal lain.

4)Pasal kesebelas menunjukkan bahwa hakim yang adil bagi kaum muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syariat dan hukum 4wl SWT dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini, mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan siksa 4wl SWT di akhirat.


PERIODE PERANG MEMBELA DIRI

Perang Badar Al-Kubra
1)Sebab pertama terjadinya perang Badar ini menunjukkan bahwa motif utama kaum Muslimin keluar bersama Rasulullah S’AW bukan untuk berperang, melainkan didorong oleh tujuan mencegat kafilah Quraisy yang datang dari Syam di bawah kawalan Abu Sufyan. 4wl SWT menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan yang lebih besar bagi para hamba-Nya, di samping merupakan tindakan yang lebih mulia dan lebih sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh kaum muslimin dalam kehidupannya. 4wl SWT Meloloskan kafilah yang menjadi tujuan utama mereka dan menggantinya dengan peperangan yang sama sekali tidak pernah mereka duga. Peristiwa ini menunjukkan dua hal: pertama, semua harta kekayaan kaum kafir Harbi oleh kaum Muslimin dianggap sebagai ”harta yang tidak mulia”. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum muslimin dianggap telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh kaum Fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Makkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy, yaitu usaha pengambilan hak sebagai ganti rugi dari kekayaan mereka yang masih tertinggal di Makkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin. Kedua, kendatipun tindakan ini dibolehkan, 4wl Menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang lebih mulia daripada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengan tugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama 4wl SWT, jihad di jalan-Nya, dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat 4wl SWT. Itulah sebabnya, Abu Sufyan kemudian berhasil lolos bersama kafilahnya, sementara itu, pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Ilahiyah bagi kaum muslimin yang dengan jelas tampak tergambar dalam firman 4wl SWT,
”Dan (ingatlah), ketika 4wl Menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan 4wl Menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaan) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (al-Anfal [8]:7)

2)a.Komitmen Rasulullah S’AW kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Rasulullah S’AW selalu berpegang teguh kepada prinsip syura dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara tegas oleh wahyu 4wl SWT, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah syar’iyah (politik syariat).
b.Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum muslimin dan umat lain dibolehkan untuk tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syar’iyah (politik syariat) atau hukmul imamah (keputusan pemimpin).

3)Mengapa jawaban Abu bakar, Umar, dan al-Miqdad belum memuaskan hati Rasulullah S’AW, tetapi terus memandang ke arah mereka sampai Sa’ad bin Mu’adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah S’AW merasa puas? Jawabannya bahwa Nabi S’AW hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar dalam masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan yang didasarkan kepada mu’ahadah (janji setia) di antara mereka dan Rasulullah S’AW, yakni janji setia yang bersifat khusus dan harus ditaati, yang dengan demikian berarti Nabi S’AW tidak mempunyai hak untuk memaksa mereka berperang bersamanya dan memberikan pembelaan terhadapnya kecuali di dalam kota Madinah, sebagaimana dinyatakan pada butir janji setia tersebut, ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan ”rasa” keislaman mereka dan mu’ahadah kubra (perjanjian agung) mereka terhadap 4wl? Atas dasar ini, berarti Nabi S’AW memiliki hak untuk menjadi penerima amanah di antara mereka guna melaksanakan mu’ahadah kubra tersebut dan adalah kewajiban mereka memenuhi hak-hak mu’ahadah ini serta melaksanakan tanggung jawabnya secara sempurna. Dari jawaban Sa’ad bin Mu’adz, dapatlah diketahui bahwa mubaya’ah (bai’at/janji setia) yang diberikan kepada Rasulullah S’AW di Makkah sebelum Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya’ah kepada 4wl SWT. Mereka tidak pernah beranggapan lain ketika memberikan pembelaan kepada Rasulullah S’AW setelah berhijrah kepada mereka kecuali sebagai pembelaan terhadap agama dan syariat 4wl SWT.

4)Dalam melaksanakan jihad dan lainnya, Imam dibolehkan menggunakan ”intel” (spionase) yang disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui perencanaan dan kekuatan mereka.

5)Pembagian tindakan Nabi S’AW. Dialog yang berlangsung antara Nabi S’AW dan Habbab bin Mundzir (hadits ini sanadnya sahih) tentang penempatan pasukan menunjukkan bahwa tindakan Nabi S’AW tidak semuanya bersifat tasyri’ (menjadi syariat). Banyak tindakan Nabi S’AW yang masuk dalam kategori siyasah syari’ah (politik syariat) sebagai imam dan kepala negara, bukan sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu dari 4wl seperti dalam hal pemberian dan perencanaan-perencanaan militernya.

6)Pentingnya merendahkan diri kepada 4wl dan meminta dengan sangat kepada-Nya. Kekhusyukan Nabi S’AW dalam berdo’a dan menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, merupakan salah satu wujud tugas ’ubudiyah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. ’Ubudiyah dan kepatuhan kepada 4wl SWT menghasilkan ’izzah dan kemuliaan yang membuat wajah dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu, kecongkakan dan kesombongan merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali oleh dan untuk para pemilik sifat dan sikap tersebut.

7)Bala bantuan Malaikat pada Perang Badar. Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi S’AW pingsan beberapa saat di dalam kemahnya kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu Bakar,
”Hai Abu Bakar, bergembiralah, pertolongan 4wl SWT telah datang kepadamu. Itulah Jibril memegang tali kekang dan menuntun kudanya.”
Turunnya para malaikat untuk berperang bersama kaum Muslimin hanyalah merupakan peneguhan hati kaum Muslimin dan jawabanNya secara empiris (istijabah hissiyah) terhadap istighatsah (permohonan pertolongan) demi menghadapi peperangan pertama di jalan 4wl SWT melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat. Sesungguhnya, kemenangan itu semata-mata datangnya dari 4wl SWT. Firman 4wl:
”Dan 4wl tidak Menjadikannya (mengirim bala bantuan Malaikat) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tentram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi 4wl. Sesungguhnya, 4wl Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” (al-Anfal [8]: 10)

8)Kehidupan Barzakh bagi orang mati. Berdirinya Rasulullah S’AW di mulut sumur seraya menyebutkan dan memanggil nama mayat-mayat kaum musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga jawaban Rasulullah S’AW terhadap pertanyaan Umar R.’A pada saat itu, merupakan dalil yang tegas bahwa orang-orang yang sudah meninggal memiliki kehidupan rohani secara khusus, kita tidak mengetahui hakikat dan kaifiatnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tetap berada di sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita dapat menggambarkan adanya siksa kubur dan kenikmatannya.

9)Masalah Tawanan Perang.
a.Tawanan dan Ijtihad Rasulullah S’AW. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi S’AW mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah S’AW mempunyai ijtihad, berarti ijtihad beliau bisa benar atau salah. Hanya saja, kesalahan ijtihad Rasulullah S’AW tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Qur’an. Jika tidak ada ayat al-Qur’an yang menegurnya, berarti ijtihad Rasulullah S’AW benar dalam pengetahuan 4wl SWT.

b.Perang dan Rampasan. Perang Badar merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam menangani masalah harta rampasan yang diperoleh setelah pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang sangat miskin dan sangat memerlukan. Terhadap perselisihan yang terjadi saat itu, turunlah Firman 4wl SWT:
”Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ’Harta rampasan perang itu kepunyaan 4wl dan Rasul, sebab itu bertaqwalah kepada 4wl dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada 4wl dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan 4wl gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal.’” (QS. Al-Anfal [8]: 1-2)
Di dalam kedua ayat ini tidak terdapat jawaban bagi pertanyaan mereka, justru memalingkan mereka dari masalah yang mereka tanyakan karena harta rampasan perang itu bukanlah milik salah seorang pun di antara mereka, melainkan semata-mata milik 4wl SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, mereka harus memperbaiki dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi di antara mereka, menaati perintah-perintah 4wl SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia harus diserahkan kepada 4wl SWT sepenuhnya. Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan kandungan kedua ayat tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan yang terjadi, barulah diturunkan ayat-ayat lainnya yang menetapkan cara pembagian rampasan perang kepada para mujahidin. Ini merupakan sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.
Ketika Rasulullah S’AW meminta pendapat dari para sahabatnya mengenai tawanan perang, hampir semua sahabat menyetujui pembebasan para tawanan dengan penebusan. Kecenderungan Rasulullah S’AW kepada pendapat ini menunjukkan rasa belas kasih Rasulullah kepada para sahabatnya. Akan tetapi hikmah Ilahiyah tidak menyetujui kaum Muslimin menjadikan harta benda sebagai ukuran atau bagian dari ukuran dalam memutuskan perkara-perkara mereka yang terbesar yang semata-mata didasarkan kepada pandangan agama, betapapun kondisi yang dihadapi. Hal ini karena jika pandangan materialistik itu dibiarkan pada saat mereka menghadapi pengalaman pertama dalam masalah seperti ini, dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi kaidah yang baku sehingga pertimbangan materialistik tersebut akan menghancurkan hukum-hukum yang harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan duniawi.

Bani Qainuqa’: Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin. Beberapa Ibrah:

1)Hijab (cadar) wanita muslimah. Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi bani Qainuqa’) ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya.

2)Insiden yang timbul karena Yahudi bani Qainuqa’ ini menunjukkan kedengkian yang terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Akan tetapi, mengapa bukti-bukti kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka memendam kedengkian tersebut? Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badar. Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif-salah seorang yahudi-berkata kepada sebagian Muslimin ketika mereka kembali dari Perang Badar,
”Janganlah kamu tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya...”
Seandainya orang-orang itu menghormati ”perjanjian” yang telah mereka sepakati dengan kaum Muslimin, dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mengusik dan menyakiti mereka. Mereka tidak menghendaki selain kejahatan sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada mereka.

3)Perlakuan Islam kepada orang Munafik. Peristiwa ini, berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas, membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu, jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik tulen yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin. Kendatipun demikian, Rasulullah S’AW tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau orang yang berdusta dalam menganut Islam. Rasulullah S’AW bahkan meluluskan permintaan dan tuntutannya itu. Ini menunjukkan-sebagaimana disepakati para ulama-bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri atas dua aspek: (1) Aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh khalifah (Kepala Negara). (2) Aspek lain yang akan diterapkan kelak di akhirat yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada 4wl SWT semata.

4)Memberikan wala’ kepada non-Muslim. Jika kita perhatikan hukum syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-muslim sebagai wali (pemimpin atau tempat memberikan loyalitas) atau sebagai ”teman setia” atau ”sejawat” untuk melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian. Larangan memberikan wala’ kepada kaum kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena 4wl sama sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.

Perang Uhud
Terjadi karena para tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang Badar bersepakat untuk membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badar. Perang Uhud mengajarkan kepada kaum muslimin cara mencapai kemenangan dalam pertempuran musuh serta cara menghindari kegagalan dan kekalahan.

1)Di sini kita bisa mencatat satu hal yang tidak kita dapati pada musyawarah menjelang perang Badar yaitu bahwa Nabi S’AW tidak mau mencabut kembali persetujuannya atas usulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan dilakukan di luar kota Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil persiapan perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali usulan mereka itu. Mereka juga, pada saat itu, mengharapkan agar Rasulullah tinggal saja di Madinah jika beliau berpendapat demikian. Tampaknya pada waktu musyawarah, Nabi S’AW cenderung-atau menampakkan kecenderungan-terhadap usulan yang menginginkan agar kaum Muslimin menunggu musuh di Madinah. Kemungkinan hikmah yang terkandung dalam masalah ini antara lain bahwa memperbincangkan kembali suatu masalah yang sudah diputuskan-apalagi setelah diadakannya persiapan untuk berperang dan setelah Nabi S’AW muncul di tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat senjatanya-adalah suatu tindakan di luar prinsip syura, khususnya menyangkut masalah-masalah peperangan yang memerlukan-di samping musyawarah-ketegasan dan kepastian sikap. Karena itu, Nabi S’AW menjawab mereka dengan tegas dan pasti,
”Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum perang.”

2)Dalam peperangan ini, kaum munafikin menunjukkan sikap mereka yang asli (berkhianat).

3)Dalam perang ini, Rasulullah S’AW tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang non-Muslim kendatipun jumlah kaum muslimin masih sangat sedikit.

4)Fenomena Samurah bin Jundab dan Rafi’ bin Khudaij. Keduanya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana kedua anak ini datang kepada Rasulullah S’AW meminta izin agar diperkenankan ikut serta dalam peperangan. Suatu peperangan yang didasarkan pada kesiapan mati dan sangat tidak seimbang. Kaum muslimin jumlahnya tidak lebih dari 700 tentara dan kaum musyrikin jumlahnya lebih dari 3000 tentara. Munculnya kesiapan untuk menghadapi kematian seperti yang terlihat pada fenomena anak-anak tersebut adalah karena dorongan keimanan yang telah menguasai hati dan hasil mahabbah terhadap Rasulullah S’AW.

5)Memperhatikan siasat peperangan yang diterapkan Rasulullah S’AW dalam peperangan ini (terutama dalam menempatkan posisi pasukan pemanah yang bertugas mengawal di atas bukit, betapapun situasi yang terjadi), dapat diambil ibroh. Pertama, keahlian Rasulullah S’AW di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa 4wl SWT telah membekali keahlian yang langka ini kepada beliau. Perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung kenabian dan risalah yang dibawanya. Kedua, pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah S’AW kepada para sahabatnya, khususnya kepada pasukan pemanah, memiliki kaitan yang erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah terhadap perintah-perintah Nabi S’AW. Seolah-olah Nabi S’AW telah mengetahui apa yang akan terjadi melalui firasat kenabian atau wahyu dari 4wl SWT sehingga beliau perlu mewanti-wanti mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian, seolah-olah beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepada harta dan rampasan. Suatu manuver, betapapun hasilnya, sangat bermanfaat. Hasil negatif dari manuver mungkin saja faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.

6)Abu Dujanah, setelah mengambil pedang dari tangan Rasulullah S’AW, langsung berjalan mengelilingi barisan kaum muslimin dengan cara yang amat pongah. Tetapi tindakan ini tidak diingkari oleh Rasulullah S’AW. Beliau hanya berkomentar, ”Ini adalah gaya berjalan yang dimurkai 4wl SWT kecuali di tempat seperti ini (peperangan).” Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kesombongan yang diharamkan dalam situasi biasa, terhapus keharamannya dalam situasi perang.

7)Jika kita perhatikan masa berlangsungnya peperangan antara kaum Muslimin dan musuh mereka di Uhud ini, kita mendapat dua titik perhatian. Pertama, di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah yang mereka terima dari panglima mereka (Nabi S’AW). Apa hasil dari komitmen ini? Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tak lama kemudian berhasil mengobrak-abrik barisan lawan. Kedua, di saat kaum Muslimin mengejar kaum musyrikin untuk menumpas setiap orang yang berhasil ditangkapnya dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah pasukan pemanah melihat dari atas saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medan pertempuran dan kembali dengan membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut membantu mengumpulkan barang rampasan. Keinginan inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah S’AW itu telah berakhir dan mereka sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu serta tidak perlu lagi menunggu izin dari Rasulullah S’AW untuk meninggalkan tempat mereka. Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya, terutama amir (komandan regu) mereka. Abdullah bin Jubair, mereka tetap turun dan ikut mengambil barang rampasan. Apakah akibat dari tindakan ini? Rasa takut yang sebelumnya menyelimuti hati kaum musyrikin berubah menjadi suatu keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun mulai melihat peluang dan adanya pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat, telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Kemudian bersama pasukan musyrikin, Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan berhasil membunuh beberapa pasukan pemanah yang tidak ikut turun lalu mereka dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani kaum Muslimin dari belakang dengan panah. Saat itu, giliran kaum muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang telah kita ketahui. Bagian inilah yang dikomentari 4wl SWT melalui firmannya:
”...sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah (Rasulullah) sesudah 4wl Memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat. Kemudian 4wl Memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu...” (Ali Imran [3]: 152)
Perhatikanlah! Betapa berat resiko yang harus dihadapi akibat kesalahan besar tersebut! Betapa resiko itu menimpa semua personil Muslimin!
Kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam pasukan kaum Muslimin telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa semua orang. Rasulullah S’AW pun tidak luput dari akibatnya. Itulah sunnatullah yang berlaku di alam semesta ini. Keberadaan Rasulullah S’AW di tengah-tengah pasukan itu pun tidak dapat menangkal keberlangsungan sunnatullah itu.
Sekarang bandingkanlah! Lebih besar mana antara kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang (pasukan pemanah) tersebut dari sekian banyak kesalahan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari ini, dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik yang umum maupun yang khusus? Renungkanlah semua ini agar kita dapat menggambarkan betapa kasih sayang 4wl kepada kaum Muslimin karena tidak Menghancurkan mereka sekalipun mereka melakukan berbagai kesalahan dan mengabaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Dengan demikian jelaslah bagi kita mengapa bangsa-bangsa Islam tidak berdaya menghadapi negara-negara tiran yang tidak percaya kepada 4wl SWT.

8)Dalam peperangan ini, Nabi S’AW mengalami cedera dan luka parah, terperosok ke dalam lubang, kepala bocor, gigi patah, darahnya mengalir deras di wajahnya. Semua ini merupakan salah satu akibat dari kesalahan tersebut, kesalahan beberapa orang prajurit karena melanggar perintah pimpinan. Lalu, apa hikmah disebarluaskannya desas-desus tentang kematian Rasulullah S’AW di dalam barisan kaum Muslimin? Jawabannya, sesungguhnya keterikatan kaum Muslimin dengan Rasulullah S’AW dan keberadaannya di antara mereka sedemikian kuat sehingga mereka tidak membayangkan perpisahan dengan Rasulullah S’AW. Kematian Rasulullah S’AW adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Mereka seolah-olah membuang jauh-jauh hal tersebut dari pikiran mereka. Tidak diragukan lagi, seandainya berita kematian Rasulullah S’AW itu benar, niscaya berita itu akan meremukredamkan hati mereka dan mengguncangkan keimanan mereka, bahkan akan menimbulkan keguncangan jiwa yang sedemikian dahsyat pada sebagian besar di antara mereka. Hikmah dari isu kematian Rasulullah S’AW adalah hal itu menjadi salah satu pengalaman dan pelajaran kemiliteran yang sangat penting agar kaum Muslimin menyadari akan suatu hakikat yang harus dihadapinya sehingga mereka tidak kembali murtad apabila Rasulullah S’AW harus meninggalkan mereka. Demi untuk menjelaskan pelajaran penting ini, diturunkan ayat Al-Quran sebagai komentar terhadap kelemahan dan keterkejutan yang menimpa kaum Muslimin ketika mendengar berita kematian Rasulullah S’AW.
”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh sebelumnya telah berlalu beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau gugur dibunuh kamu berbalik kembali (murtad)? Siapa saja yang murtad maka dia sama sekali tidak dapat mendatangkan mudharat kepada 4wl sedikitpun; dan 4wl kelak Memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(Ali-Imran [3]: 144)
Hasil positif dari pelajaran ini tampak dengan jelas ketika Rasulullah S’AW benar-benar meninggalkan mereka (wafat). Peristiwa (isu) Uhud inilah, dengan segenap ayat al-Quran yang diturunkan menyusul isu tersebut, yang memperingatkan dan menyadarkan kaum Muslimin pada kenyataan ini. Karena itu, mereka dengan berat hati dan rasa sedih, telah siap menerima kematian Rasulullah S’AW dan memikul beban amanah yang ditinggalkannya: dakwah dan jihad di jalan 4wl SWT. Mereka bangkit memikul amanah dengan keimanan yang kokoh dan tawakal yang mantap kepada 4wl SWT.

9)Mari kita renungkan kematian yang telah merenggut nyawa para sahabat Rasulullah S’AW demi membela dan menyelamatkan Rasulullah S’AW dari hujan anak panah dan lemparan batu. Satu demi satu mereka berguguran di bawah hujan panah. Mereka berjuang dengan semangat tinggi demi menjaga nyawa Rasulullah S’AW tanpa menghiraukan resiko yang ada. Dari manakah sumber pengorbanan yang menakjubkan ini? Semua itu tidak lain hanyalah bersumber dari: pertama, keimanan kepada 4wl SWT dan Rasul-Nya, kedua, kecintaan kepada Rasulullah S’AW.
Rasulullah S’AW bersabda:
”Tidaklah beriman seorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada hartanya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. Muttafaq ’alaih)
Jika cinta seperti ini (kecintaan yg tinggi pada 4wl SWT dan Rasul-Nya) telah menyelinap dan bertahta di dalam hati setiap diri kaum Muslimin pada hari ini sehingga menjauhkan mereka dari syahwat dan egoisme mereka, insya4wl saat itulah kaum Muslimin akan tampil sebagai generasi baru dan mampu merebut kemenangan mereka dari benteng kematian serta mengalahkan musuh-musuh mereka betapapun rintangan yang harus dihadapinya.
Media untuk mencapai cinta ini adalah dzikir dan sholawat kepada Rasulullah S’AW. Banyak merenungkan tanda-tanda kekuasaan 4wl SWT dan nikmat-nikmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita, menghayati siroh Rasulullah S’AW dan akhlak-akhlaknya. Semua ini dilakukan setelah kemantapan (istiqomah) dalam ibadah secara khusyuk dan berkomunikasi dengan 4wl SWT di setiap saat.

10)Seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa Nabi S’AW memerintahkan penguburan mayat-mayat para syuhada berikut becak-bercak darah yang melekat pada mereka dan tanpa mensholatkannya. Setiap satu kubur diisi dengan dua syuhada. Peristiwa ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang syahid dalam pertempuran jihad tidak perlu dimandikan dan disholatkan. Ia harus dikuburkan sebagaimana adanya. Para ulama juga berpendapat, berdasarkan peritiwa ini, bahwa apabila keadaan darurat, dibolehkan penguburan lebih dari satu orang dalam satu kubur. Jika tidak darurat, tidak dibolehkan.

11)Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah S’AW bersama sahabatnya setelah sehari tiba di Madinah (mengejar kembali kaum Musyrikin di Hamra’ul asad). Tampaklah kepada kita suatu pelajaran pertempuran Uhud secara jelas dan sempurna. Terlihat bahwa kemenangan itu hanya bisa dicapai dengan kesabaran, ketaatan kepada perintah-perintah pimpinan yang baik, dan tujuan yang murni semata-mata demi agama.
Sebagai penutup pelajaran Uhud, turunlah perintah 4wl SWT,
”(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah 4wl dan Rasul-nya setelah mereka mendapat luka (dalam perang Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa ada pahala yang besar, (yaitu) orang-orang (yang menaati 4wl dan rasul-Nya) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ”Sesungguhnya, manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ’Cukuplah 4wl Menjadi Penolong kami dan 4wl adalah sebaik-baik Pelindung.’ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari 4wl, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan 4wl. Dan 4wl Mempunyai karunia yang besar.”
(QS. Ali Imran [3]: 172-174)



Tragedi ar-Raji’(tahun ke-3) dan Bi’ru Ma’unah (tahun ke-4)
1.Masing-masing dari tragedi ar-Raji’ dan Bi’ru Ma’unah menunjukkan keterlibatan dan partisipasi seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada Islam dan menjelaskan hakikat serta hukum-hukum Islam kepada manusia. Tanggung jawab dakwah bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul atau para khalifah dan ulama saja, melainkan tanggung jawab setiap individu Muslim. Pentingnya kewajiban dakwah ini dapat dirasakan setelah kita mengetahui bagaimana Rasulullah SAW mengutus tujuh puluh orang sahabat pilihannya ke Bi’ru Ma’unah. Padahal tidak lama setelah enam orang sahabatnya terbunuh (tragedi ar-Raji’) dalam misi yang sama yaitu berdakwah menyebarluaskan Islam. Rasulullah SAW sendiri telah mengkhawatirkan terjadinya tragedi tersebut, bahkan hal ini pernah disampaikannya kepada Amir bin Malik ketika ia mengusulkan pengiriman utusan untuk mengajak manusia kepada Islam. Akan tetapi Amir bin Malik waktu itu juga melihat bahwa pelaksanaan kewajiban dakwah (tabligh) lebih penting daripada segala sesuatu. Jika tanggung jawab mengemban amanaha dakwah tidak akan bisa dilaksanakan kecuali harus menempuh ”petualangan” dengan resiko seperti itu, biarlah semua itu terjadi. Biarlah terjadi apa yang dikehendaki 4wl SWT dalam kewajiban melaksanakan dakwah tersebut.

2.Pada bagian sebelumnya disebutkan seorang Muslim tidak boleh tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi jika tidak dapat memperlihatkan eksistensi dan misi agamanya. Tetapi untuk kasus ini menunjukkan adanya pengecualian hukum tersebut, yaitu apabila menetapnya seorang Muslim di Darul Kufri itu karena tugas melaksanakan kewajiban dakwah Islam. Sebab hal ini termasuk salah satu bentuk jihad yang tanggung jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin, atas dasar fardlu kifayah.

3.Kedua tragedi ini menunjukkan betapa kebencian dan dendam yang membara di hati kaum musyrikin terhadap kaum Muslimin, sampai mereka tega melakukan pengkhianatan terburuk demi untuk memuaskan dahaga kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini menunjukkan betapa indah dan mengagumkan gambaran watak dan tabiat kaum Muslimin. Tergambar bagaimana Khubaib bin Ady disekap sebagai tawanan di rumah Bani al-Harits, menanti pelaksanaan eksekusinya. Pada hari pelaksanaan eksekusi, Khubaib meminjam pisau cukur untuk mencukur demi mempersiapkan diri menghadapi kematian. Saat itu, tiba-tiba seorang balita dari seorang wanita lepas dan mendatangi Khubaib. Pada saat-saat seperti ini, bagi orang yang berpikir ingin membalas dendam dan selamat dari kematian merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan penyanderaan sebagai media ’tawar-menawar’ atau membayar pengkhianatan dengan pengkhianatan yang sama. Tetapi si ibu tercengang ketika melihat Khubaib mendudukkan anaknya di pangkuan seraya memanjakannya seperti seorang ayah. Ketika Khubaib melihat wanita itu penuh ketakutan dan kecemasan, dengan tenang dan rasa kasih sayang sebagai seorang Mukmin, Khubaib berkata, ”Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Insya4wl, aku tidak akan melakukannya.”
Subhanallah, sungguh indah hasil tempaan tarbiyah Islamiyah kepada manusia. Perhatikanlah perbedaan antara Khubaib dan orang-orang musyrik yang membunuhnya secara kejam dan aniaya. Sama-sama orang Arab yang tumbuh dalam suatu lingkungan dan tradisi yang serupa. Tapi Khubaib telah memeluk Islam, sehingga Islam telah membentuknya menjadi manusia yang berbeda sama sekali dengan mereka yang tetap bertahan dalam kesesatan dan tabiat mereka yang buruk. Betapa besar perubahan yang telah dilakukan oleh Islam pada tabiat manusia!

4.Tragedi ini menjadi landasan bahwa seorang yang ditawan oleh musuh dibolehkan untuk tidak menerima tawaran keamanan dan tidak mau tunduk kepada musuh sekalipun dengan resiko dibunuh karena menolak diberlakukannya hukum kafir terhadap dirinya seperti yang dilakukan oleh Ashim bin Tsabit. Jika ia menginginkan rukhshah, ia juga boleh memilih tawaran keamanan demi menanti kesempatan dan mengharapkan pembebasan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khubaib bin Ady dan Zaid bin Datsinah. Tapi seandainya ia dapat melarikan diri, menurut pendapat yang lebih shahih, ia harus melakukannya kendatipun ia dapat menampakkan agamanya di antara mereka karena seorang tawanan di tangan kaum kafir itu terhina. Karena itu, ia wajib membebaskan dirinya dari kehinaan tawanan dan perbudakan.

5.Jawaban Zaid bin Datsinah kepada Abu Sufyan-beberapa menit sebelum pembunuhannya-dapatlah kita ketahui betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah S’AW. Kecintaan ini merupakan faktor terpenting yang menumbuhkan kesiapsediaan berkorban di jalan 4wl SWT dan membela rasulullah S’AW. Jika tidak disertai kecintaan ini, maka iman seseorang belum sempurna.

6.Apa yang terjadi pada Khubaib selama menjadi tawanan di Makkah menunjukkan kemungkinan terjadinya karomah bagi seorang wali sebagaimana mukjizat bagi seorang Nabi. Perbedaan utamanya bahwa mukjizat Nabi disertai dengan tantangan dan pernyataan kenabian, sedangkan karomah para wali dan orang-orang sholeh datang begitu saja tanpa disertai tantangan. Inilah yang ditetapkan oleh jumhur Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Tidak ada karomah yang lebih jelas daripada karomah yang diberikan oleh 4wl SWT kepada Khubaib sebelum pembunuhannya. Ia begitu tabah dan tegar menghadapi kematian, sebagaimana riwayat Bukhari dan lainnya.

7.Apa hikmah terjadinya pengkhianatan terhadap para pemuda Mukmin yang keluar demi menyambut perintah 4wl SWT dan Rasul-Nya? Mengapa 4wl Ta’ala tidak Memberikan kekuatan kepada mereka sehingga berhasil mengalahkan para pengkhianat itu? Jawabnya, 4wl SWT Memperhambakan para hamba-Nya melalui perjuangan mewujudkan dua hal: Menegakkan masyarakat Islam dan berjuang mencapai tujuan tersebut pada jalan yang penuh dengan taburan duri. Hikmahnya, agar terwujudkan ’ubudiyah manusia kepada 4wl SWT dan terpisahkan antara orang-orang yang benar-benar beriman dan orang-orang munafik. Hikmah lainnya agar 4wl SWT Menjadikan mereka syuhada dan terlaksananya mubaya’ah antara 4wl SWT dan para hamba-Nya yang beriman. Mubaya’ah yang secara tegas disebutkan dalam firman-Nya, (QS. At-Taubah [9]: 111): ”Sesungguhnya, 4wl telah Membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan Memberikan surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan 4wl, lalu membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran...”


Pengusiran Orang-orang yahudi Bani Nadhir
Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Rasulullah S’AW keluar pada hari sabtu lalu sholat di masjid Quba’ bersama beberapa orang sahabatnya dari kaum Anshor dan Muhajirin. Rasulullah S’AW kemudian mendatangi orang-orang yahudi bani Nadhir untuk meminta bantuan mereka membayar diat (tebusan ganti rugi) kepada keluarga dua orang dari Kilab yang dibunuh secara tak disengaja oleh Amir bin Umaiyyah adh-Dhamri. Kedua orang yang terbunuh itu sebelumnya telah mendapatkan jaminan perlindungan dari Rasulullah S’AW. Pada saat itu, antara bani Nadhir dan bani Amir terjalin ikatan persahabatan (persekutuan), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya.
Orang-orang yahudi bani Nadhir itu menjawab, ”Kami akan melakukan apa yang engkau inginkan, wahai Abul Qasim.” Sebagian kaum yahudi itu kemudian berbisik kepada yang lain merencanakan pengkhianatan. Amir bin Jihasy an-Nadhari berkata, ”Aku akan naik ke bagian atas rumah kemudian menjatuhkan batu besar kepapdanya”. Waktu itu Rasulullah S’AW sedang berdiri di samping salah seorang dari mereka.
Ibnu Sa’ad selanjutnya menambahkan bahwa Salam bin Masykam (salah seorang yahudi bani Nadhir) berkata kepada kepada mereka, ”Janganlah kalian melakukannya! Demi 4wl, dia (Muhammad) pasti akan diberi tahu tentang apa yang kalian rencanakan. Sesungguhnya, perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian antara kita dan dia.
Setelah mendapatkan kabar tentang rencana pengkhianatan itu, Rasulullah S’AW dengan cepat bergerak, seolah-olah ada suatu keperluan, menuju Madinah dengan diikuti oleh para sahabatnya. Para sahabatnya berkata, ”Engkau berangkat, sedangkan kami tidak menyadari!” Nabi S’AW menjawab, ”Orang-orang yahudi itu merencanakan pengkhianatan lalu 4wl Mengabarkan hal itu kepadaku maka aku segera berangkat.
Rasulullah S’AW kemudian mengutus seorang utusan kepada mereka untuk menyampaikan pesan, ”Keluarlah kalian dari negeriku karena kalian telah merencanakan pengkhianatan. Aku beri tempo sepuluh hari. Kalau setelah itu masih ada yang terlihat, akan kupenggal batang lehernya.”
Orang-orang yahudi itu pun mulai bersiap-siap keluar, tetapi Abdullah bin Ubay bin Salul mengirim seorang utusan untuk menyampaikan pesan kepada mereka, ”Janganlah kalian meninggalkan rumah-rumah kalian. Tinggallah di benteng kalian karena kami bersama dua ribu orang akan membela kalian”. Orang-orang yahudi itu kemudian membatalkan rencana keluar mereka dan bertekad untuk bertahan di benteng-benteng mereka. Rasulullah S’AW pun lalu memerintahkan sahabatnya untuk bersiap-siap memerangi mereka.
Akhirnya Rasulullah S’AW bergerak mendatangi mereka. Sementara itu, mereka bertahan di benteng-benteng mereka dengan menggunakan senjata panah dan batu. Abdullah bin Ubay ternyata mengkhianati mereka. Rasulullah S’AW lalu mengepung mereka dan memerintahkan supaya semua ladang kurma milik mereka dibabat habis. Mereka kemudian menggugat, ”Hai Muhammad, kamu dulu melarang kerusakan dan mencela orang yang melakukannya. Mengapa sekarang kamu membabat dan membakar habis ladang kurma?” 4wl SWT pun Menurunkan firman-Nya,
”Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya maka (semua itu) adalah atas izin 4wl. Dan karena Dia hendak Memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (al-Hasyr [59]: 5)
Setelah itu, mereka menyerah kepada Rasulullah S’AW dan bersedia meninggalkan kota Madinah sebagaimana yang diinginkan beliau. Rasulullah S’AW menjawab, ”Sekarang, aku tidak menerimanya kecuali jika kalian keluar dengan darah-darah kalian saja. Kalian boleh membawa harta yang dapat dibawa oleh unta kecuali senjata. Akhirnya, mereka menerima keputusan itu dan keluar dengan membawa harta yang dapat diangkut oleh unta mereka. Ibnu Hisyam berkata, ”Sebagian mereka ada yang mencopoti peralatan rumah mereka untuk dibawa keluar Madinah. Mereka mengungsi antara ke Khaibar dan Syam. Di antara orang-orang yahudi itu hanya ada dua orang yang masuk Islam, yaitu Yamin bin Umair bin Ka’ab, anak paman Amr bin Jihasy, dan Abu Sa’ad bin Wahab. Kedua orang ini kemudian mendapatkan kembali hartanya.”
Rasulullah S’AW membagi harta bani Nadhir ini kepada kaum Muhajirin saja tanpa orang-orang Anshor kecuali dua orang Anshor yang dikenal sangat miskin, yaitu Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah Sammak bin Kharsyah. Sebenarnya, harta bani Nadhir ini sepenuhnya menjadi hak milik Rasulullah S’AW. Al-Baladziri menyebutkan di dalam Futuhul Buldan bahwa Rasulullah S’AW bercocok tanam di bawah pohon-pohon kurma di tanah mereka kemudian hasilnya disimpan untuk makanan keluarga dan istrinya selama setahun dan sisanya untuk keperluan senjata dan kendaraan. Berkenaan dengan bani Nadhir, 4wl SWT Menurunkan surah al-Hasyr. Sebagai komentar terhadap kebijaksanaan Rasulullah S’AW dalam membagi harta bani Nadhir, turunlah firman 4wl,
”Dan apa saja harta rampasan (fa’i) yang Diberikan 4wl kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi 4wl Yang Memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan 4wl Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fa’i) yang Diberikan 4wl kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk 4wl, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertawakallah kepada 4wl. Sesungguhnya, 4wl sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr [59]: 6-7)

Perang Dzatur Riqa’
Walaupun tidak terjadi ”kontak senjata” antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin dalam peperangan ini, ada beberapa peristiwa yang dapat diambil pelajaran, sebagai berikut:
1.Apa yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari tentang penjelasan sebab penamaan peperangan ini dengan Dzatur Riqa’ (Sobekan kain) memberikan suatu gambaran yang jelas betapa berat penderitaan yang dialami oleh para sahabat Rasulullah S’AW dalam menyampaikan risalah 4wl SWT dan jihad di jalan-Nya. Gambaran ini menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki kendaraan (dana) untuk menunjang jihad dan peperangan yang mereka lakukan. Enam atau tujuh orang bergantian mengendarai satu ekor unta untuk menempuh jarak perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan. Tetapi kemiskinan ini tidak menghalangi mereka untuk menyampaikan risalah mereka: risalah dakwah di jalan 4wl dan jihad di jalan-Nya. Demi tugas ini, mereka siap menanggung segala resiko dan ujian berat. Telapak kaki mereka pecah karena menempuh perjalanan panjang di atas pasir panas dan batu kerikil tajam yang menyengat. Kuku-kuku mereka terkelupas karena keterseokan langkah yang menyandung batu demi batu. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk mengobatinya kecuali harus membalutnya dengan sobekan kain mereka yang lusuh. Tetapi semua itu tidak pernah membuat mereka lemah semangat atau menyerah. Semuanya itu dianggap kecil dan ringan bila dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang Dilimpahkan 4wl SWT ke atas pundak mereka semenjak mereka menjadi Muslim. Mereka selalu menepati firman 4wl,
”Sesungguhnya, 4wl Membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan (balasan) surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan 4wl lalu mereka membunuh atau dibunuh...”(at-Taubah [9]:111)

Sementara itu, Abu Musa al-Asy’ari tidak suka menceritakan keadaan ini setelah keterlepasan kata dan ditanya tentang sebab penamaan perang ini dengan Dzatur Riqa’ (sobekan kain). Ia tidak suka dan menyesali perbuatannya itu karena di luar kontrolnya, dia telah menceritakan sesuatu dari amalnya yang dilakukan secara ikhlas demi mengharapkan ganjaran di sisi 4wl semata. Ini menunjukkan, seperti dikatakan oleh Imam Nawawi, bahwa seorang Muslim dianjurkan untuk menyembunyikan (tidak menceritakan) amal-amal sholehnya dan segala kesusahan dan penderitaannya dalam ketaatan kepada 4wl. Ia tidak boleh menunjukkan sedikit pun dari amal-amal sholehnya dan segala kesusahan serta penderitaannya dalam ketaatan kepada 4wl, kecuali untuk suatu kemaslahatan, seperti menjelaskan hukum tentang sesuatu dan mengingatkan orang supaya meneladaninya.

2.Cara sholat yang dilakukan Rasulullah S’AW secara berjamaah dengan para sahabatnya dalam peperangan ini merupakan asas disyariatkannya sholat khauf. Cara menunaikan sholat khauf ada dua. Pertama, khusus jika musuh berada di arah kiblat. Kedua, khusus jika musuh tidak berada di arah kiblat. Cara yang kedualah yang dilakukan oleh Rasulullah S’AW dalam peperangan Dzatur Riqa’ ini. Ketika masuk waktu sholat, pihak musuh berpencar ke berbagai penjuru dan arah sehingga dikhawatirkan pihak musuh akan mengawasi kaum Muslimin dari jauh. Bila mereka melihat semua kaum Muslimin tidak menghadap ke arah mereka dan sibuk menunaikan sholat, niscaya dengan mudah mereka akan menyerang kaum Muslimin dengan peralatan perang mereka.

Rasulullah S’AW memulai sholat beserta satu kelompok dari sahabatnya, sedangkan sahabat yang lain mengawasi musuh ke berbagai arah. Ketika telah menyelesaikan satu rakaat, Rasulullah S’AW menanti, sedangkan para sahabat yang bermakmum itu menyelesaikan rakaat ke-2 sendiri-sendiri. Mereka kemudian pergi menggantikan para sahabat yang bertugas mengawasi musuh. Selanjutnya, kelompok ke-2 ini datang lalu berdiri membentuk shaf di belakang Rasulullah S’AW. Setelah menyempurnakan rakaat ke-2-nya, Rasulullah S’AW duduk menanti para sahabat (kelompok ke-2) menyempurnakan rakaat ke-2 sendiri-sendiri, kemudian mereka salam mengikuti Rasulullah S’AW.

Sholat ini dilakukan dengan cara tesebut, padahal mereka dapat melaksanakannya dengan dua jamaah. Sebabnya adalah pertama, tujuan menyatukan mereka semua untuk berqudwah kepada Rasulullah S’AW. Ini merupakan keutamaan yang tidak boleh dilewatkan manakala dapat dilakukan. Kedua, memperpadukan kesatuan jamaah dalam menunaikan suatu kewajiban adalah sesuatu yang makruh (dibenci).

3.Kisah seorang musyrik yang menyambar pedang Rasulullah S’AW adalah kisah yang diriwayatkan secara sahih. Kisah ini menunjukkan sejauh mana perlindungan 4wl kepada nabi-Nya. Selain itu, peristiwa tersebut dapat menambah keyakinan kita kepada perkara luar biasa yang diberikan 4wl kepada Nabi-Nya sehingga kita semakin mantap dan yakin kepada pribadi kenabiannya.

4.Kisah Jabir bin Abdullah R’A yang telah berdialog dengan Rasulullah S’AW di tengah perjalanan pulangnya ke Madinah, padahal kisah ini tidak berkaitan dengan masalah peperangan, karena dialog tersebut memberikan gambaran yang utuh dan detail tentang akhlak Rasulullah S’AW terhadap para sahabatnya. Suatu perlakuan yang menyenangkan, pembicaraan yang lembut, keramahtamahan dalam berdialog, dan kecintaan Rasulullah S’AW terhadap para sahabatnya.

5.Setiap muslim harus banyak merenungkan kisah dua orang sahabat yang bertugas menjaga pasukan kaum Muslimin atas perintah dari Rasulullah S’AW, agar disadari oleh setiap muslim bagaimana watak jihad Islam dan bagaimana para sahabat Rasulullah S’AW melaksanakannya.

Jihad bukanlah sekedar perjuangan yang didasarkan pada prinsip perlawanan senjata/material semata. Tetapi jihad-sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah S’AW kepada para sahabatnya dan sebagaimana dipahami oleh para sahabat-adalah ibadah terbesar yang mempertautkan seluruh eksistensi seorang muslim dengan Penciptanya dalam suatu ’ubudiyah yang khusyuk dan penuh konsentrasi. Tidak ada saat-saat yang lebih dekat bagi seorang muslim dengan Rabb-nya selain tatkala dia sedang melepaskan dunia dan menghadapkan wajahnya ke arah kematian dan syahadah.

Karena itu wajar bila sahabat Anshor, Ibad bi Basyir, memanfaatkan waktu tugas jaganya di malam hari untuk menunaikan beberapa rakaat secara khusyuk berdiri di hadapan 4wl SWT. Semua perasaannya hanyut melarut ke dalam munajat kepada-Nya dengan membaca sejumlah ayat al-Qur’an yang mulia. Wajar jika kemudian ia tidak menghiraukan lesatan anak panah yang menancap di tubuhnya sampai tiga kali karena seluruh dimensi kemanusiaannya sedang berada di puncak transenden tersebut, terbawa hanyut oleh perasaannya yang sedang menghadap ke haribaan Rabb-nya. Saat-saat ketika dia sedang merasakan lezatnya bermunajat, antara hamba dan Penciptanya. Ketika dia keluar dari suasana itu, barulah dia mulai menoleh kepada apa yang menimpanya. Bukan karena rasa sakit yang mulai dirasakannya, namun karena mengingat tanggung jawab yang dibebankan oleh Rasulullah S’AW kepadanya. Khawatir tanggung jawab itu akan terabaikan karena kematiannya. Kekhawatiran inilah yang memaksanya untuk membangunkan sahabatnya agar menerima amanat menjaga pasukan yang harus dilakukannya.

Perang Bani Musthaliq (Muraisi’)
Ibnul ishaq dan sebagian ulama sirah menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada tahun keenam Hijriah. Namun pendapat yang shahih ialah pendapat yang dikemukakan oleh para peneliti bahwa perang ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun ke-5 Hijriah. Di antara dalil yang paling kuat ialah keikutsertaan Sa’ad bin Mu’adz dalam peperangan ini. Sa’ad bin Mu’adz meninggal pada perang bani Quraidhah akibat luka yang dideritanya pada perang Khandaq. Perang bani Quraidhah terjadi pada tahun ke-5 Hijriah. Bagaimana mungkin Sa’ad masih hidup setahun setelah kematiannya? (Lihat Fat-hul Bari, 7/304, Zadul Ma’ad 2/112, dan ’Uyunul Atsar 2/93.
Sebab terjadinya peperangan ini karena Nabi S’AW mendengar bahwa bani Musthaliq telah berkumpul di bawah pimpinan Harits bin Dhirar untuk menyerang Nabi S’AW. Tidak lama setelah mendengar berita ini, Rasulullah S’AW langsung keluar ke arah mereka hingga bertemu di dekat telaga al-Muraisi’. Di sinilah terjadi pertempuran sengit sampai 4wl Mengalahkan bani Musthaliq. Rasulullah kemudian membagikan ghonimah (rampasan) kepada orang-orang yang ikut berperang. Satu saham untuk orang yang berjalan kaki dan dua saham untuk orang yang membawa kendaraan. (Thabaqatu Ibni Sa’ad, 3/106 dan Siroh Ibnu hisyam, 2/290).
Dalam peperangan ini, sejumlah besar kaum munafik ikut keluar bersama kaum muslimin, padahal pada peperangan-peperangan terdahulu biasanya mereka tidak mau ikut. Semua ini dilakukan karena mereka berkali-kali melihat kemenangan yang diraih kaum Muslimin dan karena ingin mendapatkan barang rampasan.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan melalui dua jalan yang berlainan bahwa sebagian sahabat, dalam peperangan ini, meminta fatwa kepada Rasulullah S’AW tentang ’azl (coitus interrupts = mengeluarkan mani di luar rahim pada waktu bersenggama). Pertanyaan ini dikemukakan para sahabat menyusul pembagian tawanan perang kepada mereka. Rasulullah S’AW kemudian menjawab,
”Tidak ada dosa atas kalian jika kalian melakukannya. Tiada satu pun peniupan ruh yang ditetapkan menjadi makhluk hidup sampai hari kiamat kecuali ia akan tetap hidup.”
Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya dan Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya meriwayatkan bahwa seorang pelayan Umar Ibnul Khaththab R’A bernama Jahjah bin Sa’id al-Ghiffari bertengkar dengan Sinan bin Wabr al-jahni. Pertengkaran ini terjadi di dekat telaga al-Muraisi’ ketika Nabi S’AW singgah di situ. Keduanya berusaha ingin saling membunuh sampai Sinan bin Wabr al-Jahni berteriak, ”Wahai, kaum Anshor.” Pelayan umar Ibnul Khaththab juga berteriak, ”Wahai kaum Muhajirin!”. Mendengar kejadian ini, Abdullah bin Ubay bin Salul marah dan berkata pada orang-orang munafiq yang mengelilinginya,
”Apakah mereka (Muhajirin) telah melakukannya? Mereka telah menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri sendiri. Demi 4wl, antara kita dan orang-orang Quraisy ini (kaum Muslimin dari Quraisy) tak ubahnya seperti apa yang dikatakan orang, ’Gemukkan anjingmu agar menerkammu.’ Demi 4wl, jika kita telah sampai di Madinah, orang yang mulia pasti akan mengusir kaum yang hina (Muhajirin).”

Di antara orang yang mendengar ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul ini ialah Zaid bin Arqam. Ia kemudian melaporkan berita tersebut kepada Rasulullah S’AW. Pada saat itu, umar berada di samping Rasulullah S’AW, lalu berkata, ”Wahai Rasulullah, perintahkan saja Ibad bin Bisyir untuk membunuhnya!” Rasulullah S’AW menjawab,
”Bagaimana, wahai Umar, jika orang-orang berbicara bahwa muhammad itu telah membunuh sahabatnya? Tidak!”

Rasulullah S’AW kemudian segera memerintahkan kaum Muslimin agar cepat-cepat berangkat, padahal tidak biasanya Rasulullah S’AW berangkat pada waktu seperti itu. Kaum Muslimin pun berangkat mematuhi perintah.
Pada hari itu, Nabi S’AW dan kaum Muslimin meneruskan perjalanan sampai keesokan harinya. Pada keesokan harinya, ketika mereka berhenti di suatu tempat, tidak seorang pun dapat menahan rasa kantuknya. Semua tertidur di tanah. Rasulullah S’AW sengaja melakukan hal ini (mengajak berjalan sehari semalam) agar orang-orang melupakan ucapan yang telah diucapkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Selanjutnya turunlah surah al-Munafiqun, membenarkan laporan Zaid bin Arqam tentang ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul yang telah didengarnya itu.
”Mereka berkata, ’Sesungguhnya, jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi 4wl, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun [63]:8)

Setelah sampai di Madinah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah S’AW lalu berkata,
”Aku dengar engkau ingin membunuh ayahku. Jika benar engkau melakukannya, perintahkanlah aku. Aku bersedia membawa kepalanya ke hadapanmu. Demi 4wl, tidak ada orang dari suku Khazraj yang dikenal lebih baik sikapnya kepada orang tuanya daripada aku. Aku takut engkau akan memerintahkan orang lain selain aku untuk membunuhnya, sehingga jiwaku tidak tahan melihat pembunuh Abdullah bin Ubay berjalan di tengah masyarakat lalu aku membunuhnya pula. Ini berarti aku membunuh seorang Mukmin karena seorang kafir sehingga aku menjadi penghuni neraka.
Akan tetapi, Nabi S’AW menjawab,
”Bahkan kita akan bertindak lemah lembut dan berlaku baik kepadanya, selama dia masih tinggal bersama kita.”

Sejak itulah apabila Abdullah bin Ubay bin Salul mengemukakan suatu pendapat atau ucapan, ia selalu ditentang dan dikecam oleh kaumnya. Rasulullah S’AW kemudian berkata kepada Umar Ibnul Khaththab, ”Bagaimana pandanganmu, wahai Umar? Demi 4wl, seandainya engkau membunuhnya pada hari kau katakan kepadaku ’bunuhlah dia’ niscaya orang-orang akan ribut. Akan tetapi, seandainya aku perintahkan kamu untuk membunuhnya sekarang, apakah kamu akan membunuhnya juga?” Jawab Umar, ”Demi 4wl, aku telah mengetahui bahwa keputusan Rasulullah S’AW lebih besar berkahnya ketimbang pendapatku.”

Berita Bohong (Haditsul Ifki)
Dalam perjalanan pulang kaum Muslmin dari Perang bani Musthaliq inilah tersiar berita bohong yang bertujuan merusak keluarga Nabi S’AW. Berikut ini dikemukakan ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam ash-Shahihain.

Aisyah R’A meriwayatkan bahwa dalam peperangan ini, ia ikut keluar bersama Rasulullah S’AW. Aisyah R.’A berkata, ”Setelah selesai dari peperangannya ini, Rasulullah S’AW bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar hendak membuang hajat, lalu aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu, kuraba-raba kalung di leherku, ternyata sudah tidak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajat tadi untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil yang terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan. Karena itu, mereka lalu mengangkat haudaj kemudian mengikatkannya pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada dalam haudaj. Karena itu, mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat...!
Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak kujumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimutkan jilbab, aku berbaring di tempat itu. Aku berpikir, pada saat mereka mencari-cari aku, tentu mereka akan kembali ke tempatku. Demi 4wl, di saat aku berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu’aththal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan, ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku-ia sudah melihat dan mengenalku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berjilbab. Ketika melihatku, ia berucap, ’Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Istri Rasulullah?’ Aku pun terbangun karena ucapannya itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku. Demi 4wl, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un itu. Dia kemudian merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah itu bersumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.”
Aisyah R’A melanjutkan, ”Setibanya di Madinah, kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu, rupanya orang-orang sudah banyak mendesas-desuskan berita bohong itu, sedangkan aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah S’AW yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya, ’Bagaimana keadaanmu?’ Setelah agak sehat, aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Masthah untuk membuang hajat-waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Masthah terantuk hingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya, ’Celaka si Masthah!’ Ia kutegur, ’Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badar?’ Ummu Masthah bertanya, ’Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?’” Aisyah R.’A melanjutkan, ”Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah. Malam itu, aku menangis hingga pagi. Air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.”
Rasulullah S’AW kemudian mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai hal ini. Di antara mereka ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, mereka (para istri nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan. ”Ada pula yang mengatakan, ”Engkau tak perlu bersedih. Masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti akan memberikan keterangan yang benar kepada anda.”
Rasulullah S’AW lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah dan bertanya, ”Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?” Ia lalu mengabarkan kepada Nabi S’AW bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Nabi S’AW kemudian berdiri di atas mimbar dan bersabda,
”Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seseorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi 4wl, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya, mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.”
Sa’ad bin Mu’adz lalu berdiri seraya berkata, ”Aku yang akan membelamu dari orang itu, wahai Rasulullah! Jika dia dari suku Aus, kami siap memenggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj, perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.” Kemudian timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah S’AW meredakan mereka.
Aisyah R.’A melanjutkan, ”Rasulullah S’AW kemudian datang ke rumahku. Saat itu, ayah ibuku berada di rumah. Ayah ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu, Nabi S’AW tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan, beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku.” Aisyah R.’A berkata, ”Ketika duduk, Nabi S’AW membaca puji syukur ke Hadirat 4wl lalu bersabda, ’Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah, pasti 4wl akan Membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa, mintalah ampunan kepada 4wl dan bertobatlah kepada-Nya.’ Seusai Rasulullah S’AW mengucapkan ucapannya itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku, ’Berilah jawaban kepada Rasulullah mengenai diriku.’ Ayahku menjawab, ’Demi 4wl, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.’ Aku katakan pula kepada ibuku, ”Berilah jawaban mengenai diriku,” Dia pun menjawab, ’Demi 4wl, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.’ Aku lalu berkata, ’Demi 4wl, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah-4wl Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah-kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya-4wl Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah-pasti kalian akan membenarkan aku. Demi 4wl, aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Nabi Yusuf ’Alaihis salam, ’Sebaiknya aku bersabar. Kepada 4wl sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan.’ (Yusuf [12]:18)’”
Aisyah R.’A berkata, ”Aku kemudian pindah dan berbaring di atas tempat tidurku.”
Selanjutnya, Aisyah R.’A berkata, ”Demi 4wl, Rasulullah S’AW belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga 4wl Menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi. Keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya.” Aisyah berkata, ”Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah S’AW lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yang pertama terdengar ialah, ’Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya 4wl telah Membebaskan kamu.’ Ibuku pun kemudian berkata, ’Berdirilah (berterima kasihlah) kepadanya.’ Aku menjawab,
’Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi S’AW) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.’”
Aisyah R’A berkata, ”Allah kemudian menurunkan firman-Nya,
’Sesungguhnya, orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar... (sampai dengan ayat 21)’ (an-Nur [24]:11-21)
Aisyah melanjutkan, ”Sebelum peristiwa ini, ayahku membiayai Masthah karena kekerabatan dan kemiskinannya. Akan tetapi, setelah peristiwa ini, ayahku berkata, ’Demi 4wl, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkannya kepada Aisyah.” Allah kemudian menurunkan firman-Nya,
’Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan 4wl, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa 4wl Mengampuni? Dan 4wl adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (an-Nur [24]:22)
Abu Bakar lalu berkata, ’Demi 4wl, sungguh aku ingin mendapatkan ampunan 4wl.’ Ia kemudian kembali membiayai Masthah.”
Nabi S’AW kemudian keluar menyampaikan khotbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya, Nabi S’AW memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.

Beberapa ’Ibrah:
a.Berita bohong itu tidak lain hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari seni penyiksaan dan ujian berat yang dilancarkan oleh musuh Islam terhadap Nabi S’AW. Penyiksaan ini (berita bohong) lebih menyakitkan hati Nabi S’AW dibanding gangguan-gangguan sebelumnya. Itulah watak kejahatan yang dilancarkan kaum munafik, selalu lebih keji dan lebih licik daripada gangguan yang dilancarkan oleh orang lain karena mereka lebih banyak memiliki kesempatan dibanding orang lain. Berita bohong ini merupakan bentuk yang unik dari gangguan yang dilakukan kaum munafik. Namun tribulasi berita bohong ini membawa hikmah Ilahiah yang bertujuan untuk menampakkan kepribadian Nabi S’AW dan membersihkan sebersih-bersihnya dari segala keraguan. Sesungguhnya, makna kenabian dalam kehidupannya mungkin akan kurang begitu jelas, baik dalam pandangan kaum muslimin sendiri apalagi dalam pandangan kaum kafir, seandainya berita bohong ini tidak terjadi. Peristiwa ini telah menggugat kepribadian Nabi S’AW sehingga terbedakan secara jelas mana kepribadiannya sebagai manusia dan mana kepribadiannya sebagai seorang nabi dan rasul. Peristiwa ini juga telah memperjelas sejelas-jelasnya arti kenabian dan wahyu di hadapan semua pikiran dan pandangan manusia sehingga tidak ada lagi peluang untuk meragukannya. Dua hakikat yang sangat penting adalah pertama, bahwa Nabi S’AW dengan kenabian dan kerasulannya tidak keluar dari statusnya sebagai manusia biasa. Karena itu, orang yang mempercayainya tidak boleh menggambarkan bahwa kenabian telah membawanya keluar dari batas-batas kemanusiaan sehingga kepada diri Nabi S’AW dinisbatkan sesuatu atau pengaruh yang tidak boleh dinisbatkan kecuali kepada 4wl. Kedua, bahwa wahyu Ilahi bukan suatu perasaan jiwa yang memancar dari diri Nabi S’AW. Juga bukan sesuatu yang tunduk kepada kehendak, kemauan, dan harapannya. Adalah Aisyah R.’A yang pertama mengetahui kedua hakikat ini sehingga segera mentauhidkan 4wl dan memberikan ’ubudiyah hanya kepada-Nya. Karena itu, dia menjawab ibunya ketika meminta agar dia berdiri mengucapkan terima kasih kepada Nabi S’AW seraya berkata, ”Aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya dan aku tidak akan memuji kecuali kepada 4wl karena Dialah yang Membebaskan aku.”

b.Di dalam peristiwa ini, disyariatkan pula ”hukuman dera” (haddul qadzaf). Kita lihat bahwa Nabi S’AW telah memerintahkan agar orang-orang yang secara terang-terangan mengucapkan tuduhan itu didera sebanyak delapan puluh cambukan. Hukuman ini sudah tidak dipermasalahkan lagi. Yang menjadi permasalahan ialah mengapa gembong dan sumber isu serta tuduhan palsu itu, Abdullah bin Ubay bin Salul, dapat lolos dari hukuman? Jawabnya, seperti dikatakan oleh Ibnul Qayyim, karena Abdullah bin Ubay mengendalikan berita bohong ini di antara orang banyak dengan cara yang busuk dan licik. Dia menyebarkan fitnah dengan cara mengumpulkan berita kemudian diceritakannya kembali dalam bentuk cerita orang sehingga tidak dapat dinisbatkan kepadanya secara langsung. Seperti kita ketahui bahwa hukuman dera itu hanya dikenakan kepada orang yang secara langsung mengatakan tuduhan. Wallahu a’lam...



Perang Khandaq (Perang Ahzab)
Pada peperangan ini juga terjadi pengkhianatan dan tipu muslihat orang-orang yahudi. Merekalah yang menggerakkan, menghasut, dan menghimpun berbagai golongan (ahzab) dan kabilah itu. Kejahatan dan pengkhianatan itu tidak cukup dilakukan oleh orang-orang yahudi bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah, bahkan bani Quraidhah pun-yang masih terikat perjanjian bersama kaum Muslimin-kini telah melakukannya, padahal tidak ada satu pun tindakan kaum muslimin yang mengundang mereka untuk melanggar perjanjian tersebut. Beberapa ibroh:

1.Di antara sarana perang yang dgunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit. Perang dengan menggali parit ini merupakan peperangan pertama dikenal dalam sejarah bangsa Arab dan Islam karena taktik dan teknik peperangan seperti ini biasanya dikenal oleh bangsa ’ajam (non-Arab). Orang yang mengusulkan cara ini adalah Salman al-Farisi. Nabi S’AW sendiri mengagumi usulan ini dan segera mengajak para sahabatnya untuk melaksanakannya. Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa ”Pengetahuan adalah milik kaum muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka lebih berhak mengambilnya daripada orang lain.” Sesungguhnya, syariat Islam sebagaimana melarang kaum muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga menganjurkan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang muslim tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam segala perilaku dan urusannya. Dengan demikian, dia tidak akan dapat dikuasai dan dibawa kemana saja oleh sistem yang tidak bisa diterima akal yang sehat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Sikap ini muncul dari kehormatan yang ditetapkan 4wl kepada manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk. Praktik ’ubudiyah kepada 4wl dan kepatuhan terhadap hukum-hukum syariat-Nya hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemimpinan tersebut.

2.Kerja para sahabat bersama Rasulullah S’AW dalam menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang menjelaskan hakikat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekadar slogan yang menarik untuk mengelabui masyarakat, melainkan merupakan asas yang benar-benar memancarkan semua nilai dan prinsip Islam, baik secara lahiriah maupun batiniah.

3.Peristiwa ini mengungkapkan potret kenabian dalam sosok kepribadian Nabi S’AW dan kasih sayangnya kepada mereka. Juga memberikan contoh lain dari perkara luar biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya. Pribadi kenabiannya tampak pada perjuangannya menghadapi rasa lapar yang dialaminya pada saat bekerja bersama para sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan batu yang diganjalkan ke perutnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat lapar. Yang membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya kepada manusia dalam suatu perjuangan yang memiliki tabiat seperti itu. Itulah pribadi kenabian. Sementara itu, kecintaan Nabi S’AW kepada para sahabatnya dapat dilihat dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk menikmati hidangan yang ”hanya” sedikit itu. Nabi S’AW memiliki pandangan bahwa dirinya dan para sahabatnya adalah saling takaful (sepenanggungan), saling berbagi rasa, baik dalam suka maupun duka. Karena itu, Nabi S’AW menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi mereka. Sementara itu, Nabi S’AW memanggil para sahabatnya untuk menikmati hidangan besar di rumah Jabir. Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir menjadi makanan yang banyak dan mencukupi ratusan sahabatnya, bahkan masih bersisa banyak, sehingga Nabi S’AW mengusulkan kepada shahibul bait (istri Jabir) agar membaginya kepada orang lain. Mukjizat yang mengagumkan ini dianugerahkan kepada Nabi S’AW sebagai penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada kekuasaan 4wl yang mutlak.

4.Apakah hikmah musyawarah Nabi S’AW kepada sebagian sahabatnya mengenai hal penawaran perdamaian kepada kabilah Ghathafan dengan imbalan memberikan sepertiga hasil buah-buahan kota Madinah kepada mereka asalkan mereka bersedia menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan lainnya? Apakah dalil syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran ini? Hikmahnya ialah bahwa Nabi ingin mengetahui sejauh mana para sahabatnya itu memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada pertolongan 4wl pada saat menghadapi kepungan kaum musyrikin secara mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh bani Quraidhah. Hal ini termasuk salah satu uslub tarbiyah Nabi S’AW yang paling menonjol kepada para sahabatnya. Karena itu, beliau mengemukakan bahwa pandangan itu bukan ketetapan dari 4wl, melainkan sekadar pandangan yang dikemukakan dalam rangka upaya menghancurkan kekuatan kaum musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Dalil syariat yang menjadi landasan pemikiran ini ialah prinsip syura itu dilakukan pada masalah yang tidak ditegaskan oleh nash. Akan tetapi, setelah itu, tidak berarti kaum muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil buminya kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan. Alasan diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk menjajaki mentalitas, yakni sebagai ’amal tarbawi (pembinaan) semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan, mungkin setelah itu datang sanggahan dari Kitab 4wl sehingga tidak lagi memiliki dalil syar’i. Namun para ulama sirah dalam masalah ini telah menyebutkan bahwa Nabi S’AW tidak sampai jadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghathafan. Bahkan sebenarnya Nabi S’AW tidak pernah memiliki keinginan untuk berdamai dengan Ghathafan. Apa yang diusulkannya hanyalah sekadar manuver dan penjajakan.

5.Bagaimana dan dengan sarana apakah kaum Muslimin berhasil memetik kemenangan atas kaum musyrikin dalam peperangan ini?
Sarana yang digunakan Rasulullah S’AW dalam peperangan ini sama dengan sarana yang pernah digunakannya dalam perang Badar, yaitu sarana mendekatkan diri kepada 4wl serta memperbanyak do’a dan istighatsah kepada-Nya. Sarana inilah yang senantiasa digunakan Rasulullah S’AW setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana mutlak yang harus digunakan oleh kaum muslimin jika mereka menginginkan kemenangan. Bagaimana kaum musyrikin yang berjumlah banyak itu bisa terkalahkan setelah kaum muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kesungguhannya dalam meminta pertolongan kepada 4wl. (QS. Al-Ahzab [33]: 9-25)
Sesungguhnya pertolongan 4wl yang selalu terulang dalam peperangan-peperangan Rasulullah S’AW ini tidak berarti menggalakkan kaum muslimin untuk melakukan ”petualangan” dan jihad tanpa persiapan dan perencanaan. Jika bukan karena pertolongan 4wl SWT, dari manakah datangnya angin topan yang memporakporandakan tentara-tentara musyrikin itu, sementara kaum muslimin tenang tanpa merasakannya? Di pihak kaum musyrikin, angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-kuali mereka, dan mengguncangkan hati mereka. Sementara itu, di pihak kaum muslimin, ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.

6.Pada peperangan ini, Rasulullah S’AW tidak sempat sholat Ashar karena kesibukannya menghadapi musuh sehingga beliau meng-qadha’-nya setelah matahari terbenam. Di dalam beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa sholat yang terlewatkan lebih dari satu sholat, kemudian Nabi S’AW melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya. Ini menunjukkan dibolehkannya meng-qadha’ sholat yang terlewatkan. Kesimpulan ini tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan sholat karena kesibukan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian dihapuskan ketika sholat khauf disyariatkan kepada kaum muslimin, baik yang berjalan kaki maupun yang berkendaraan. Tapi penghapusan itu-seandainya benar-bukan terhadap dibolehkannya meng-qadha’. Ia hanya menghapuskan bolehnya menunda sholat karena kesibukan. Penghapusan bolehnya menunda tidak berarti juga penghapusan terhadap bolehnya meng-qadha’. Dibolehkannya meng-qadha’ tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan bahwa sholat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah dibahas ketika membicarakan Perang Dzatur Riqa’. Di antara dalil lain yang menunjukkan bolehnya qadha’ sholat ialah riwayat yang disebutkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi S’AW bersabda pada waktu berangkat kembali ke Madinah dari Perang Ahzab, ”Janganlah ada seorang pun yang sholat Ashar (atau dzuhur) kecuali setelah sampai bani Quraidhah.” Di tengah perjalanan, datanglah waktu sholat. Sebagian berkata, ”Kami tidak akan sholat sebelum sampai ke sana (bani Quraidhah).” Sebagian yang lainnya berkata, ”Kami akan sholat. Beliau tidak memaksudkan itu (melarang sholat).” Akhirnya kelompok pertama melaksanakan sholat setelah sampai di bani Quraidhah sebagai sholat qadha’. Kewajiban meng-qadha’ sholat yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena tidur, lalai, maupun sengaja ditinggalkan. Hal ini karena-setelah adanya dalil umum yang mewajibkan qadha’ sholat yang terlewatkan-tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadha’ ini dengan sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan sholatnya di tengah perjalanannya menuju bani Quraidhah itu bukan karena tertidur atau lupa. Karena itu keliru jika syariat qadha’ sholat yang terlewatkan ini dikhususkan bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang mengkhususkan qadha’ sholat dengan sholat wajib tertentu saja, tanpa landasan yang syar’i. Barangkali ada sebagian orang yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang mengkhususkan keumuman syariat qadha’ itu, ”Siapa saja yang sholatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakannya pada waktu ia teringat.” Tetapi pemahaman ini tidak dapat diterima sebab tujuan utama hadits ini bukan hanya memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk meng-qadha’ sholatnya, melainkan untuk menegaskan keterangan ”pada waktu ia teringat”. Keterangan ini menjelaskan bahwa orang yang ingin mengerjakan sholatnya yang terlewatkan tidak disyaratkan untuk menunggu datangnya waktu sholat tertentu pada hari berikutnya, tetapi ia harus segera meng-qadha’nya pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian, mafhum mukhalafah dari hadits di atas (Lihat Fat-hul Bari, 2/47 dan Nailul Authar, 2/27) tidak dapat dibenarkan.



Perang Bani Quraidhah
Beberapa Ibroh:

1.Boleh Memerangi Orang yang Melanggar Perjanjian.
Imam Muslim menjadikan hukum ini sebagai ”judul” bagi Perang bani Quraidhah. Perdamaian, perjanjian, dan perlindungan yang telah dibuat antara kaum Muslimin dan non-Muslim wajib dijaga dan dihormati oleh kaum Muslimin selama pihak lain tidak melanggar perjanjian tersebut. Jika pihak lain melanggar perjanjian yang telah disepakati, pada saat itu, kaum Muslimin boleh memerangi mereka bila tindakan ini dinilai akan membawa kemaslahatan.

2.Boleh Bertahkim dalam Memutuskan perkara Kaum Muslimin.
Imam Nawawi berkata, ”Peristiwa ini menunjukkan bolehnya bertahkim, dalam memutuskan perkara kaum muslimin, kepada keputusan seorang muslim yang adil dan laik memutuskan perkara. Para ulama telah menyepakatinya dalam kasus kaum khawarij. Kaum khawarij ini menolak Ali R.’A dalam melakukan tahkim, tetapi ketentuan ini telah menjadi hujjah atas mereka. Peristiwa ini juga menunjukkan bolehnya mengadakan perundingan bersama penduduk suatu desa atau penghuni suatu benteng dengan menyerahkan keputusan kepada seseorang sebagai hakim muslim yang adil, laik memutuskan perkara, dan dapat dipercaya dalam urusan yang dimaksud. Sementara itu, orang yang bertindak sebagai hakim diwajibkan mengambil keputusan yang akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Bila hakim telah memutuskan sesuatu, keputusannya harus dipatuhi. Imam ataupun mereka tidak boleh menolak. Mereka boleh mencabut sebelum keputusan dijatuhkan.

3.Boleh berijtihad dalam masalah Furu’ dan Kemestian Terjadinya Perbedaan Pendapat.
Bagian ini membahas perselisihan para sahabat dalam memahami ucapan Rasulullah S’AW,
”Janganlah ada seorang pun yang sholat Ashar kecuali setelah sampai di bani Quraidhah.”
Tidak adanya seorang pun di antara mereka yang dikecam atau disalahkan oleh Nabi S’AW merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip syariat yang agung ini, yaitu ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ dengan menganggap masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan termaafkan (kesalahannya), baik kita katakan bahwa pihak yang benar itu hanya satu maupun bisa lebih dari satu. Sebagaimana ia juga menyimpulkan prinsip ijtihad dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan perselisihan dalam masalah-masalah furu’ yang timbul dalil zhanni adalah sesuatu yang tidak mungkin karena 4wl Memperhamba para Hamba-Nya dengan dua macam taklif (kewajiban). Pertama, menerapkan perintah-perintah tertentu dan jelas yang berkaitan dengan aqidah dan perilaku (suluk). Kedua, mencari dan mengerahkan segenap upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan hukum-hukum far’iyah dari dalil-dalil yang umum dan beraneka macam. Seseorang yang mendapati waktu sholat di suatu pedalaman dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, tidaklah dituntut lebih dari tercerminnya ’ubudiyah kepada 4wl dalam mengerahkan segenap usahanya untuk mengetahui arah kiblat sesuai dengan apa yang dipahaminya dan atas tanda-tanda yang dilihatnya. Bila ia sudah yakin akan arah kiblat yang dicarinya, ia boleh sholat menghadap kepadanya dengan tenang. Selain itu, terdapat beberapa hikmah dari adanya dalil-dalil dan nash-nash syariat yang zhanniyud dilalah (tidak tegas penunjukannya). Yang terpenting di antaranya, agar ijtihad-ijtihad yang berlainan mengenai suatu masalah itu seluruhnya memiliki hubungan yang erat dengan dalil mu’tabarah secara syar’i sehingga kaum muslimin memiliki keleluasaan untuk mengambil dalil yang mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk rahmat 4wl SWT kepada para hamba-Nya di setiap zaman dan waktu. Dengan demikian, usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat (khilafiah) dalam masalah-masalah furu’ adalah bertentangan dengan hikmah Robbaniah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syariat-Nya, di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan.

4.Keyakinan Kaum Yahudi terhadap Kenabian Muhammad S’AW.
Dapat diketahui dari ucapan Ka’ab bin Asad kepada saudara-saudaranya sesama yahudi bahwa mereka meyakini kenabian Muhammad S’AW dan benar-benar mengetahui apa yang ditegaskan oleh Taurat tentang diri Nabi S’AW, tanda-tandanya, dan kerasulannya. Tapi mereka tidak dapat membebaskan diri dari fanatisme dan kesombongan yang menjadi sebab kekafiran sebagian besar manusia yang berpura-pura tidak paham dan tidak beriman. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa aqidah Islam dan semua hukumnya merupakan agama fitrah yang bersih. Aqidahnya sesuai dengan akal sehat dan semua hukumnya sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Tidak ada orang yang berakal sehat yang mendengar Islam dan mengetahui hakikatnya kemudian mengingkarinya secara jujur dan rasional. Ia mengingkarinya karena salah satu dari dua sebab: mungkin dia tidak mendengar Islam secara benar dan mendapatkan gambaran yang palsu tentang Islam atau mungkin dia mengetahui hakikat Islam, tetapi secara emosional menolaknya karena kebencian pada kaum muslimin atau karena kehilangan kepentingan pribadinya.

5.Hukum Berdiri karena Menghormati Orang yang Datang.
Nabi S’AW memerintahkan orang-oranf Anshor untuk berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz yang sedang menuju ke arah mereka dengan menunggang kendaraannya. Dikatakan sebagai tindakan penghormatan karena mengingat penjelasan Rasulullah S’AW, ”...kepada pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Hal ini oleh para ulama dijadikan dalil bagi bolehnya menghormati orang-orang sholeh dan para ulama dengan berdiri kepada mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu. Imam Nawawi berkata dalam komentarnya kepada hadits ini, ”Ia menunjukkan bolehnya menghormati orang yang memiliki keutamaan dan menyambutnya dengan berdiri kepadanya apabila ia datang. Demikianlah jumhur ulama, berdasarkan hadits ini, menganjurkan berdiri (untuk menghormati orang yang datang).” Al-Qadhi berkata, ”Ini tidak termasuk berdiri (untuk menghormati yang dilarang). Berdiri (untuk menghormati) yang dilarang itu ialah bila mereka berdiri kepada seseorang yang duduk dan mereka tetap berdiri selama orang yang dihormati itu duduk.” Saya berkata, ”Berdiri kepada orang yang ahlul fadli (sholeh) yang baru datang adalah mustahab (digemarkan) karena banyak hadits yang menegaskan hal ini dan tidak ada satu pun larangan yang tegas mengenainya.” (Syarhun Nawawi ’ala Shahihi Muslim, 12/93).

6.Keutamaan Sa’ad bin Mu’adz:
Ketika Nabi S’AW memberikan kepercayaan kepadanya untuk menetapkan satu keputusan mengenai nasib bani Quraidhah dan sikap beliau yang sepenuhnya mendukung setiap keputusan yang akan diambilnya.

Ketika Nabi S’AW memerintahkan orang-orang Anshor agar berdiri kepadanya pada waktu dia datang.

Ketika leher Sa’ad terluka dalam perang Khandaq. Dengan khusyuk, ia mengangkat kedua tangannya mengucapkan do’a kepada 4wl SWT,
”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih aku sukai untuk kuperangi selain dari kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, jika masih ada peperangan melawan orang-orang Quraisy, berilah kesempatan kepadaku untuk berjihad melawan mereka di jalan-Mu.”
Do’a Sa’ad ini dikabulkan. Lukanya mengering dan terlihat tanda-tanda akan sembuh total hingga terjadi perang bani Quraidhah dan Rasulullah S’AW menyerahkan kepadanya untuk menetapkan keputusan yang berkekuatan hukum terhadap mereka dan 4wl SWT menghindarkan kaum Muslimin dari kejahatan kaum yahudi serta membersihkan madinah dari kotoran-kotoran mereka. Di sini Sa’ad mengangkat kedua tangannya kembali berdo’a kepada 4wl, ”Ya Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau telah mengakhiri peperangan antara kami dan mereka (Quraisy dan musyrikin). Jika Engkau telah mengakhiri peperangan, letuskanlah lukaku ini dan jadikanlah kematianku padanya.”
Do’a Sa’ad yang kedua ini pun dikabulkan oleh 4wl. Lukanya pecah pada malam itu juga dan Sa’ad pun meninggal dunia.

Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bari mengatakan, ”Menurut saya, perkiraan Sa’ad itu benar dan do’anya juga dikabulkan. Sebab setelah Perang Khandaq tidak pernah terjadi peperangan antara kaum muslimin dan orang-orang Quraisy, yang dalam hal ini peperangan tersebut dimulai oleh kaum musyrikin. Yang terjadi bahwa Rasulullah S’AW siap-siap untuk melakukan umrah kemudian mereka menghalangi kedatangan Nabi S’AW ke Makkah sehingga hampir menimbulkan peperangan, tetapi tidak jadi, sebagaimana firman 4wl, ’Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah 4wl SWT memenangkan kamu atas mereka, dan adalah 4wl Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’ (al-Fath [48]:24)

Selanjutnya terjadi perjanjian perdamaian yang di antaranya meminta agar Nabi S’AW menunaikan umrahnya tahun depan. Perjanjian ini berjalan sampai mereka sendiri melanggarnya. Rasulullah S’AW lalu berangkat memerangi mereka dan menaklukkan Makkah. (Fat-hul Bari, 7/292). Rasulullah bersabda, ”Sekarang, kita yang menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kita bergerak mendatangi mereka.” (HR. Bukhari).